Pengangguran sering dikaitkan dengan berbagai masalah psikologis, terutama yang berkaitan dengan kesehatan mental. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi angka pengangguran, semakin besar pula risiko gangguan kesehatan, khususnya gangguan mental. Hal ini menjadi perhatian serius, baik di negara maju maupun berkembang, karena mereka yang tidak memiliki pekerjaan cenderung mengalami kesehatan mental yang lebih buruk dibandingkan dengan mereka yang bekerja. Ini dibuktikan pada 9 dari 10 penelitian.
Pada Februari 2025, tingkat pengangguran di Indonesia tercatat sebesar 4,76%. Angka ini menunjukkan penurunan dibandingkan Agustus 2024 yang sebesar 4,91% dan Februari 2024 yang mencapai 4,82%, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Meski demikian, angka tersebut mencerminkan adanya kesenjangan nyata antara pendidikan yang diperoleh generasi muda dan keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia industri. Pengangguran di Indonesia bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga membutuhkan pendekatan yang lebih menyeluruh, termasuk dukungan psikologis. Banyak dari mereka yang belum mendapatkan pekerjaan merasa tidak percaya diri, menganggap dirinya kurang kompeten, bahkan menarik diri dari lingkungan sosial. Dalam beberapa kasus, hal ini dapat berkembang menjadi masalah kesehatan mental seperti depresi.
Salah satu dampak kesehatan mental yang paling umum dari pengangguran adalah hilangnya rasa atas tujuan. Pekerjaan bukan sekadar sumber penghasilan; namun juga memberi makna dalam hidup, membuat seseorang merasa produktif dan menjadi bagian dari masyarakat. Bekerja merupakan bentuk aktualisasi diri dan kemandirian. Karena itu, ketika seseorang kehilangan pekerjaan, yang hilang bukan hanya pendapatan, tapi juga arah hidupnya. Banyak orang yang menganggur merasa kosong atau tidak berguna hingga mereka menemukan pekerjaan baru. Perasaan ini sering menjadi tanda awal munculnya depresi. Ketika frustasi karena sulitnya mencari pekerjaan mulai menumpuk, seseorang bisa menjadi lebih mudah marah atau tersinggung, bahkan terhadap hal-hal kecil yang sebelumnya bisa ditoleransi.
Pada kesempatan ini, izinkan saya—penulis artikel ini—membagikan suka duka yang saya alami selama menjadi pengangguran. Mari saya ajak kembali ke tahun 2022, saat saya baru saja lulus sekolah. Waktu itu, meskipun usia saya masih tergolong muda, saya punya banyak mimpi yang ingin segera saya wujudkan. Saya berharap semuanya bisa berjalan sesuai rencana. Namun kenyataannya berbeda—saya harus menunda banyak hal karena kondisi keuangan keluarga tidak memungkinkan.
Setelah gagal dalam ujian masuk perguruan tinggi negeri, saya masih mencoba bertahan dengan mengikuti berbagai kegiatan. Saya ikut pelatihan desain, menjadi freelancer, dan mengambil pekerjaan apa pun yang bisa saya lakukan meskipun di luar latar belakang saya. Orang-orang mungkin melihat saya seolah tidak berusaha mencari kerja, padahal kenyataannya saya frustasi—bukan tidak mau bekerja, tapi bingung harus mulai dari mana.
Saya sempat dilanda banyak pertanyaan yang terus menghantui: “Platform mana lagi yang harus saya coba untuk melamar kerja?” “Apakah saya pantas mendapatkan pekerjaan?” “Kenapa saya tak dilirik perusahaan?” “Bidang apa sebenarnya yang cocok dengan saya?” Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dalam pikiran saya. Saya mencoba menganalisis diri, mencoba mencari jawaban—sampai akhirnya saya menyadari sesuatu: dengan hanya bermodalkan ijazah SMA, peluang saya memang terbatas. Perusahaan umumnya mencari kandidat dengan gelar sarjana, atau minimal mereka yang punya pengalaman kerja, magang, ikut organisasi, atau pelatihan di bidang tertentu.
Saya sempat benar-benar merasa bingung dan putus asa. Saya punya sertifikat profesi, tapi nyatanya itu tidak otomatis membuka pintu ke dunia kerja. Di kepala saya, semuanya menumpuk jadi satu—kebingungan, tekanan, dan rasa tidak cukup. Rasanya seperti jalan di tempat, dan setiap hari muncul pertanyaan baru: “Haruskah saya menyerah, atau tetap mencoba?”
Memasuki tahun kedua setelah menganggur, akhirnya saya mendapatkan pekerjaan. Rasanya seperti titik balik dalam hidup saya. Ada perubahan yang cukup besar yang saya rasakan sejak mulai bekerja—saya kembali merasa produktif, punya rutinitas yang jelas, dan tentu saja mendapatkan pemasukan dari gaji. Dibandingkan saat menganggur, saya merasa lebih ‘hidup’ ketika memiliki aktivitas terjadwal seperti bekerja setiap hari. Selama masa-masa tanpa pekerjaan, saya benar-benar merasakan betapa kesehatan mental saya terganggu.
Selama masa-masa menganggur, saya merasakan berbagai dampak negatif yang secara perlahan menggerogoti keseharian saya. Pola makan saya menjadi tidak teratur, pola tidur pun berantakan. Saya sering merasa cemas, terutama saat memikirkan masa depan yang terasa begitu tidak pasti. Tanpa pemasukan yang jelas—atau bahkan sama sekali tidak ada—saya merasa semakin tertekan. Secara sosial, saya mulai menarik diri dari lingkungan sekitar. Rasanya seperti kehilangan kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik, bahkan dengan orang-orang terdekat. Emosi saya juga menjadi tidak stabil—mudah tersinggung, cepat merasa sedih, dan sering kali merasa tidak berdaya. Semua hal itu seperti membentuk lingkaran yang terus berulang dan sulit saya hentikan.
Waktu luang yang saya miliki memberi kesempatan untuk mengasah keterampilan, mencoba hal-hal baru, menikmati hobi, bermain game, dan beristirahat dengan cukup. Sekilas, gaya hidup seperti ini memang terasa menyenangkan. Namun, dalam jangka panjang, pola hidup tanpa struktur ini bisa berdampak kurang baik bagi kesehatan fisik maupun mental. Memiliki aktivitas seperti bekerja justru dapat menjadi bagian penting dari proses pemulihan—membangun kembali rasa percaya diri, meningkatkan harga diri, dan mengurangi tekanan psikologis. Sebaliknya, kondisi menganggur dalam waktu lama justru dapat meningkatkan risiko munculnya masalah kesehatan mental.
Apakah saya bahagia? Jujur saja, tidak. Meski akhirnya mendapat pekerjaan setelah dua tahun menganggur, saya merasa tertinggal jauh, terutama dalam hal kemampuan beradaptasi—dan itu cukup mempengaruhi performa kerja saya. Alih-alih merasa lega, saya justru kesulitan menyesuaikan diri, dan perasaan tidak bahagia itu terus membayangi, meskipun saya telah menantikan momen ini begitu lama.
Selama masa menganggur, kondisi psikologis saya semakin menurun. Saya kehilangan energi untuk bersosialisasi, hingga akhirnya menarik diri dari lingkungan sekitar. Hal itu berlangsung selama kurang lebih tiga bulan pertama saya bekerja, di mana saya masih berjuang untuk tetap bersikap profesional meskipun di dalam hati saya belum benar-benar pulih.
Di pertengahan tahun 2024, kontrak kerja saya berakhir dan saya kembali menganggur. Awalnya saya berpikir, dengan pengalaman kerja yang sudah dimiliki, saya akan lebih siap menghadapi masa transisi ini. Saya berharap bisa menyusun rencana dan tetap produktif. Namun kenyataannya, kondisi mental saya tidak menunjukkan banyak kemajuan. Saya merasa benar-benar kehilangan arah dan tujuan.
Saya sering terpaku pada kegagalan, terus menyalahkan diri sendiri atas apa yang sudah terjadi. Di kepala saya berulang-ulang terdengar kalimat seperti, “Coba saja waktu itu aku…” “Kalau saja aku dulu…” Padahal, menyalahkan diri sendiri bukanlah jalan keluar. Dalam kondisi seperti ini, yang paling dibutuhkan justru adalah dukungan penuh—bantuan psikologis, teman untuk berbagi cerita, dan proses untuk belajar mengikhlaskan hal-hal yang tidak bisa saya kendalikan.
Saya pernah berada di titik terendah, di mana rasanya benar-benar terpuruk. Teman-teman yang dulu ada mulai menjauh satu per satu, seakan lelah menghadapi saya yang tak kunjung pulih. Saya pun kesulitan mengontrol diri di media sosial—emosi saya mudah terpancing, dan semua energi, baik maupun buruk, seolah saya serap tanpa filter. Dalam kondisi mental yang rapuh, dunia digital justru memperparah keadaan.
Hari-hari saya terasa seperti siklus tanpa arah: tidur, makan, buka media sosial, mengerjakan freelance-an, main game, nonton, lalu tidur lagi. Hingga akhirnya muncul pertanyaan getir dalam diri saya: apa sebenarnya yang sedang saya jalani?
Penghasilan dari pekerjaan freelance pun nyatanya belum cukup untuk menutupi kebutuhan harian. Setiap malam, saya mengorbankan waktu tidur hanya untuk memikirkan kegagalan demi kegagalan yang saya alami—dan kadang terpikir hal-hal konyol seperti, “Bagaimana caranya bisa punya banyak uang tanpa harus bekerja?” Terdengar tidak masuk akal, saya tahu, tapi begitulah pikiran saya saat itu.
Setelah berkali-kali menerima penolakan dari berbagai perusahaan—satu per satu balasan Gmail yang hanya berisi penolakan—rasanya seperti dihantam dari segala arah: kanan, kiri, depan, dan belakang. Mustahil untuk tidak merasa sedih, meski saya sering pura-pura kuat.
Selama masa menganggur, saya mencoba untuk mencari jalan keluar dengan mengikuti sesi konseling. Hingga kini, saya masih dan akan terus menjalani pendampingan dari psikolog atau psikiater untuk membantu mengatasi kecemasan berlebih yang saya rasakan.
Namun, siapa sangka—pengangguran tidak selalu identik dengan hal negatif. Ada juga dampak positif yang bisa dirasakan oleh individu yang memanfaatkannya dengan bijak:
- Pertama, masa menganggur bisa menjadi kesempatan untuk mengembangkan keterampilan baru dan meningkatkan kemampuan yang sebelumnya terabaikan.
- Kedua, menjadi waktu yang tepat untuk mengevaluasi pilihan karier dan mencari tahu di mana letak passion sebenarnya.
- Selain itu, masa ini bisa mendorong seseorang untuk lebih mandiri dan kreatif—baik dalam mencari peluang, memulai usaha kecil, maupun membangun sesuatu dari nol.
Meski masa-masa itu terasa berat dan penuh tekanan, saya juga perlahan mulai menyadari bahwa tidak semua hal tentang pengangguran bersifat negatif. Justru di tengah keterpurukan, saya belajar melihat sisi lain dari keadaan yang saya jalani. Saya menyadari satu hal penting: menjaga kesehatan mental saat belum bekerja adalah sesuatu yang tidak bisa diabaikan. Berikut beberapa langkah sederhana yang bisa kamu coba:
- Hindari mengisolasi diri
- Buat rutinitas harian.
- Berikan afirmasi positif kepada diri sendiri.
- Luangkan waktu untuk kebugaran fisik.
- Terlibat dalam aksi sosial.
Selama saya menganggur, saya merenungkan diri untuk memperbaiki kondisi kesehatan mental saya. Saya mencoba untuk memikirkan hari esok akan lebih berarti berarti. Saya menjadwalkan kegiatan positif seperti Ibadah, bermain dengan hewan peliharaan, mengikuti kursus atau pelatihan, sampai melakukan workout harian. Masalah kesehatan mental saya belum teratasi hingga kini dan saya masih menjadwalkan konseling dengan psikolog untuk diagnosa lebih lanjut. Banyak hal yang saya dapatkan baik maupun buruknya ketika saya menganggur. Tetaplah optimis, HEALMates dan berusaha untuk melamar pekerjaan!
Sumber:
NIHR, Unemployment and insecure housing are linked to less successful treatment for depression
https://evidence.nihr.ac.uk/alert/unemployment-insecure-housing-linked-less-successful-depression-treatment/
Scientific reports, Psychological implications of unemployment among higher educated migrant youth in Kolkata City, India
https://www.nature.com/articles/s41598-024-60958-y
Tony Hartawan, Sebab Pengangguran Melonjak jadi 7,28 Juta Orang per Februari 2025
https://www.tempo.co/ekonomi/sebab-pengangguran-melonjak-jadi-7-28-juta-orang-per-februari-2025
Banyan, The Impact of Unemployment on Mental Health https://mentalhealth.banyantreatmentcenter.com/blog/impact-of-unemployment-on-mental-health
Verury Verona Handayani, Kenali Dampak Pengangguran Bagi Kesehatan Mental
https://www.halodoc.com/artikel/kenali-dampak-pengangguran-bagi-kesehatan-mental
Gusti Ayu Tirta, Mengungkap Penyebab Utama dan Solusi Terhadap Tingginya Tingkat Pengangguran di Indonesia
https://stekom.ac.id/artikel/mengungkap-penyebab-utama-dan-solusi-terhadap-tingginya-tingkat-pengangguran-di-indonesia
Muhammad Iqbal Iskandar, Dampak Negatif Pengangguran Terhadap Ekonomi & Kehidupan Sosial
https://tirto.id/dampak-negatif-pengangguran-terhadap-ekonomi-kehidupan-sosial
Adminblog, Dampak Positif Pengangguran Melihat Sisi Terang di Balik Masa Sulit
https://unfatma.ac.id/apa-saja-dampak-positif-dari-pengangguran