Logo Heal

ART, MONEY & TECHNOLOGY

Art, Money & Technology

Seni sebagai Megafon, Menyuarakan Hak tanpa Teriak

Seni sebagai Megafon

Oleh :

Pernah sadar nggak HEALMates, kalau galeri, panggung musik, dan feed TikTok makin mirip mimbar orasi? Bukan karena meja kurator disulap jadi podium, tapi karena makin banyak seniman yang turun gelanggang jadi aktivis. Begitupun sebaliknya, banyak juga aktivis yang pakai seni sebagai megafon perjuangan. Terutama buat isu yang paling personal dan paling gampang dipolitisasi. Salah satunya kesehatan mental.

Kalau dulu orang demonstrasi sambil bawa poster, sekarang orang bawa mural satir, video art, musik, ilustrasi, meme, hingga performance di ruang publik. Sebab hidup makin bising, tapi kadang suara paling jernih justru datang dari orang-orang yang kerjaannya “ngolah rasa”, bukan cuma angka dan wacana.

Seni Nggak Hanya Estetik, Tapi Jadi Cara Bertahan

Sejarah seni dipenuhi contoh seniman-aktivis. Di panggung global, ada Frida Kahlo yang menjadikan lukanya sebagai perlawanan politik dan identitas. Ada juga karya mural raksasa ala Banksy yang pakai ruang publik sebagai komik panjang kritik kekuasaan.

Tapi kalau kita zoom-in ke isu hak kesehatan mental, seni punya peran lebih dalam lagi. WHO sejak 2019 juga menegaskan bahwa kesehatan mental adalah bagian integral dari kesehatan, tapi pemenuhannya harus melibatkan pendekatan sosial-budaya, bukan sekadar medis. Itu sebabnya kampanye kesehatan mental lewat seni jadi relevan, karena seni bicara lewat pengalaman, bukan lewat diagnosa.

Di Indonesia sendiri, makin banyak seniman yang melihat kesehatan mental bukan hanya kecemasan, tapi soal martabat, hak aman, hak sembuh, hak istirahat, dan hak untuk tidak distigma. Nah dari sinilah, seni jadi kendaraan paling jujur untuk menyuarakannya.

Ketika Seniman Bersuara, Pesannya Lebih Ngena

Lihat aja mural-mural di kota besar. Kamu mungkin pernah berpapasan sama pesan di dinding gang yang bunyinya:

“Kamu capek? Yaudah, duduk dulu. Dunia nggak rubuh kok.”

Kalimat pendek, tanpa tanda tangan akademik, tapi efeknya bikin mental lebih stabil daripada 20 slide seminar daring. Itu mirip gaya komunikasi platform pop digital seperti Instagram dan TikTok, cepat, emosional, dan kalau pas momentumnya, langsung nancap di kepala jutaan orang.

Seniman bisa bikin isu HAM terasa bukan sebagai “pasal undang-undang yang jauh di sana”, tapi sebagai sesuatu yang hilang di tubuh dan pikiran kita sendiri. 

Seni Jadi Kendaraan para Aktivis 

Fenomena kebalikannya juga makin kuat. Banyak aktivis kini nggak cuma menulis esai atau pidato, tapi bikin karya seni. Salah satu contohnya yakni yang dilakukan komunitas seni untuk advokasi sosial semacam kampanye publik #BersuaraLewatKarya di berbagai kota yang organik atau non-institusional. Mereka pakai zine, ilustrasi digital, lagu, video editing, hingga pemasangan instalasi sederhana di ruang kota sebagai bentuk perlawanan yang damai, kreatif, dan “nggak kelihatan marah, padahal lagi marah”.

Seni ini sejenis medium kritik budaya yang dipakai platform alternatif untuk menyuarakan keresahan sosial, baik lewat lukisan, lagu, puisi, dan lain sebagainya. 

Jadi kalau HEALMates lihat konser musik, lukisan, atau reels estetik yang ujungnya bilang, “Merdeka batin itu juga hak, lho”, jangan kaget. Karena, generasi yang makin lelah ini sedang mendefinisikan kembali makna aktivisme, bukan cuma jalan kaki di jalan, tapi juga bicara lewat karya seni dan rasa. (RIW)

Bagikan :
Seni sebagai Megafon

More Like This

Logo Heal

Kamu dapat menghubungi HEAL disini:

Heal Icon

0858-9125-3018

Heal Icon

00 31 (0) 6 45 29 29 12

Heal Icon

heal@sahabatjiwa.com

Copyright © 2023 HEAL X  Sahabat Jiwa