Logo Heal

ART, MONEY & TECHNOLOGY

Art, Money & Technology

Salah Kaprah Soal Hak Cuti, Ini Alasan Karyawan Malas Pakai Haknya

Salah Kaprah Soal Hak Cuti Karyawan

Oleh :

Pernah nggak sih, HEALMates ingin ambil cuti, tapi saat mengajukan malah ditanya  “Kenapa mau cuti?”, “Siapa yang gantikan tugas kamu?”, “Mau cutinya kapan?” “Jangan sampai ganggu kinerja tim ya!”. Kalau iya, kamu nggak sendirian HEALMates. Sebab, banyak pekerja di Indonesia agaknya masih sering mengalami kendala ini ketika ingin mengambil haknya sendiri.

Padahal, kalau dilihat dari undang-undang ketenagakerjaan, cuti itu sebenarnya adalah hak pekerja ya, bukan kado dari pemberi kerja. Sayangnya, di banyak perusahaan, cuti masih terlihat seperti “tawaran”, sesuatu yang perlu ditanya dulu alasannya, baru dipertimbangkan.  

Apa Kata Undang-Undang Tentang Cuti Karyawan?

Agar pembahasannya nggak muter-muter di asumsi dan tebakan-tebakan, agaknya kita perlu mampir dulu ke pangkalan resminya. Karena soal cuti karyawan, itu bukan sekadar “keputusan baik hati atasan”, melainkan sudah ada aturan dan Undang-Undangnya. 

Kalau HEALMates tilik di Undang-Undang Ketenagakerjaan di Indonesia,  Pasal 81 Angka 25 UU Cipta Kerja, setelah bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus, seorang karyawan berhak atas cuti tahunan minimal 12 hari kerja per tahunan. Selama cuti tahunan ini, perusahaan juga tetap harus membayar upah pekerja.

Selain cuti tahunan, ada juga jenis cuti lainnya, seperti cuti sakit (dengan surat dokter), cuti melahirkan, dan cuti khusus tergantung situasinya, misalnya cuti menikah atau ada anggota keluarga yang meninggal. 

Intinya, cuti adalah hak karyawan dan bukan semata-mata sesuatu yang bisa kamu dapatkan kalau kamu baik ke bos. 

Kenapa Cuti Butuh Alasan?

Tantangan dalam praktik cuti itu justru harus ditanya alasan dan wajib mencari pengganti. Banyak cerita karyawan yang mau ambil hak cuti tapi langsung ditodong pertanyaan “Siapa backup tugasmu?”, “Kalau cuti sekarang, proyek ini bisa kacau loh”. Lantas, kita jadi menunda cuti atau bahkan nggak jadi cuti.

Sebenarnya, perusahaan bisa-bisa saja menolak cuti yang mendadak atau tidak sesuai prosedur” dan hal itu sah secara hukum. Namun, jika di luar itu, seharusnya perusahaan tidak perlu membebani karyawan yang ingin cuti dengan pertanyaan “Cuti emang mau apa?”

Sebab, banyak perusahaan yang masih cukup keliru dalam memahami hak cuti karyawan. Mereka cenderung menganggap bahwa hak cuti sama dengan kebutuhan operasional. Selain itu, ada juga kebijakan internal perusahaan, baik di perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau peraturan kerja sama yang terkadang tidak menjelaskan cuti secara transparan, sehingga pegawai dan bos sama-sama bingung. 

Ada juga budaya kerja yang “harus selalu siap” yang kemudian membuat karyawan cenderung merasa minder saat mengambil cuti, takut ditimpa beban kerja setelahnya, atau merasa bersalah “meninggalkan tim”. Hasilnya apa? Banyak karyawan menahan cuti, menunda rehat, atau merasa “bersalah” kalau cuti meskipun masih ada jatah 12 hari.

Kenapa Cuti Penting? 

Mendapat jatah cuti dan benar-benar menggunakannya itu penting ya, HEALMates.  Bukan cuma supaya bisa jalan-jalan, tapi adanya hak cuti ini akan  membantu karyawan untuk:

  • Menjaga kesehatan mental dan fisik dari  stres kerja tanpa jeda rentan bikin burn out.
  • Mencegah kelelahan kontinu, pikiran dan tubuh butuh jeda untuk recharge, supaya performa tetap sehat.
  • Menjaga produktivitas jangka panjang sebab karyawan yang istirahat cukup cenderung lebih kreatif, lebih segar, dan lebih setia.
  • Menghormati hak pekerja sebab cuti adalah bagian dari kompensasi non-finansial yang sudah dijamin hukum.

Jadi, ingat HEALMates! Cuti bukan tanda bahwa kamu lemah, melainkan bagian dari bentuk profesionalitas itu sendiri. 

Bagaimana Cara Mengubah Persepsi Tentang Cuti?

Pada dasarnya, kebijakan cuti harus transparan dan tertulis jelas di perjanjian kerja, peraturan perusahaan (PP), atau perjanjian kerja bersama (PKB). Jadi, karyawan nggak nebak-nebak “Gue boleh cuti nggak sih?”, dan perusahaan juga nggak tiba-tiba berubah jadi tim screening bandara, “Cuti, mau ke mana? ada agenda apa? return kapan?”.

Selain itu, perusahaan juga perlu menerapkan budaya kerja sehat. Cuti itu harus dihargai sama manajemen dan karyawan sebagai hak sekaligus kebutuhan, bukan diplesetkan jadi label “Jamaah liburan” atau “Sekadar jamaah rebahan”. Karena ya, diakui atau nggak manusia itu butuh jeda, bukan robot yang cukup di-restart kalau error.

Beberapa praktik bagus yang menguntungkan baik bagi perusahaan maupun bagi karyawan misalnya cuti bersama company-wide, sistem open leave request yang nggak bikin karyawan merasa ikut audisi rasa bersalah, atau atasan yang normalize cuti tanpa drama tanya-jawab investigatif. Idealnya, atasan itu bukan approval gate yang judes, tapi simply dukung, cuti diajukan, diterima, selesai.

Dari sisi karyawan, awareness soal hak cuti juga penting. Begitu juga sistem backup dan distribusi kerja, biar workload nggak jadi alat nakut-nakutin. Harus ada struktur yang jelas, siapa backup, gimana pembagian tugas, dan semuanya sudah by design, bukan hasil dadakan rapat panic mode.

Nah, kalau sampai sekarang kamu masih ditanya “kenapa mau cuti?” atau “siapa yang gantiin kerjaan kamu?”, itu bukan masalah pribadi, itu masalah sistem. Bisa jadi, kebijakan cutinya nggak jelas atau struktur kerjanya rapuh. Setuju nggak HEALMates?  (RIW)

Bagikan :
Salah Kaprah Soal Hak Cuti Karyawan

More Like This

Logo Heal

Kamu dapat menghubungi HEAL disini:

Heal Icon

0858-9125-3018

Heal Icon

00 31 (0) 6 45 29 29 12

Heal Icon

heal@sahabatjiwa.com

Copyright © 2023 HEAL X  Sahabat Jiwa