Logo Heal

MENTAL HEALTH

Mental Health

Rumah Sebagai Sekolah Emosi Pertama Anak

Rumah Sebagai Sekolah Emosi Pertama Anak

Oleh :

Setujukah HEALMates bahwa pola asuh sangat menentukan cara anak menghadapi dunia? Kalau kita ngomongin soal bullying, banyak orang langsung buru-buru menyalahkan sekolah. Seolah-olah begitu anak melangkahkan kaki ke gerbang sekolah, semua perilaku buruk itu muncul begitu saja. 

Padahal kalau mau jujur, benih-benih perilaku agresif atau kecenderungan menjadi pelaku bully itu seringnya bukan lahir di halaman sekolah, melainkan jauh sebelumnya, yakni di rumah. Sebab, rumah adalah tempat yang seharusnya jadi ruang paling aman, paling hangat, dan paling pertama mengajarkan anak tentang bagaimana cara menjadi manusia.

Ada satu fakta pahit yang sering luput dari perhatian kita, HEALMates. Anak belajar memperlakukan orang lain dari cara ia diperlakukan di rumah.Tentu kita tidak sedang menggeneralisasi hal ini. Hanya saja, banyak literatur yang menyebutkan bahwa anak yang tumbuh dengan amarah, ancaman, teriakan, atau hukuman berlebihan bisa tumbuh menjadi pribadi yang tidak tahu bagaimana cara menghadapi konflik dengan benar. 

Ia bisa belajar bahwa “cara menyelesaikan masalah adalah dengan menekan orang lain,” bukan dengan berdiskusi atau meredakan emosi. Dari situlah, perilaku bully sering bermula, bukan karena anak jahat, tapi karena ia tidak tahu cara lain selain yang ditunjukkan orang tua atau keluarganya di rumah. 

Sementara itu, anak yang dibesarkan dengan validasi, batasan yang wajar, dan ruang aman untuk mengekspresikan emosi cenderung tumbuh dengan cara yang lebih sehat dalam menghadapi dunia luar. 

Emosi Anak Adalah Bahasa Pertama Mereka

Bayangkan anak usia dua atau tiga tahun yang tantrum di minimarket. Kita melihatnya berguling-guling, menangis, teriak-teriak. Kadang orang dewasa cuma bisa menarik napas panjang sambil mikir, “Ya ampun ribut banget…” Padahal bagi anak, itu bukan drama. Itu adalah bahasa mereka. Emosi adalah cara pertama anak untuk mengkomunikasikan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Sebab di usia ini, otak anak belum punya kemampuan penuh untuk mengatur emosi. Nah, karena itulah mereka butuh orang dewasa untuk membantu mereka memahaminya. Misalnya,  “Ini sedih ya?”, “Kamu marah banget karena mainannya rusak?”,  “Kamu kecewa karena ingin sesuatu tapi belum bisa?”. 

Validasi macam ini bukan berarti membenarkan perilaku yang salah, tapi mengajarkan anak bahwa semua perasaan itu boleh hadir, hanya cara mengekspresikannya yang harus diarahkan. Inilah yang sering jadi fondasi dari kemampuan mereka untuk bisa meregulasi emosi dalam jangka panjang, mungkin sampai mereka dewasa.

Orang Tua sebagai “Co-Regulator”

Dalam psikologi perkembangan, ada konsep yang namanya co-regulation. Sederhananya adalah sebelum anak bisa mengatur emosinya sendiri, ia butuh orang dewasa yang membantu menenangkan, menamai, dan mengarahkan emosi itu.

Sayangnya, banyak orang tua yang tumbuh dalam lingkungan yang beranggapan bahwa “Kalau anak nangis, berarti cengeng” atau “Marah itu nggak sopan.” Akibatnya, lahirlah generasi yang bingung bagaimana cara mengelola emosi karena sejak kecil mereka diajari untuk memendam, bukan memahami.

Padahal, tugas orang tua bukan memaksa anak tenang dalam 30 detik. Tugas orang tua adalah menjadi tempat anak berlatih emosi dengan aman.

Orang tua adalah role model hidup. Cara mereka merespons kemarahan, kesedihan, atau kekecewaan di rumah itulah yang diserap oleh anak. Ketika orang tua sering berteriak, anak belajar bahwa volume suara menentukan siapa yang “menang.” Ketika orang tua memilih diam penuh pasif-agresif, anak belajar bahwa memendam adalah cara menghadapi masalah. Sebaliknya, ketika orang tua bisa menunjukkan bagaimana cara menenangkan diri, berdiskusi, dan meminta maaf, anak pun akan belajar hal yang sama.

Banyak yang bilang bahwa regulasi emosi itu soal teori, padahal praktiknya jauh lebih penting. Di rumah inilah tempat praktik terbaik bagi anak. Di rumah, anak pertama kali belajar tentang beberapa hal, seperti:

  • bagaimana menghadapi konflik saat rebutan mainan dengan kakak atau adik;
  • bagaimana menghadapi rasa malu ketika ia dimarahi;
  • bagaimana merespons kekalahan saat kalah permainan;
  • bagaimana bersikap ketika merasa tidak dipedulikan;
  • bagaimana menenangkan diri setelah marah atau takut.

Interaksi sehari-hari inilah yang akan membentuk blueprint emosi anak sampai dewasa. Kalau rumah dipenuhi bentakan, sindiran, atau ancaman, anak belajar bahwa emosi itu berbahaya. Kalau rumah dipenuhi validasi dan batasan yang jelas, anak belajar bahwa emosi itu boleh hadir, asal dikelola dengan baik.

Pada akhirnya, keluarga adalah pondasi keamanan emosi anak. Tentu saja, tidak ada satu pun rumah yang selalu sempurna. Adakalanya orang tua pun kurang tenang dan sabar dalam menghadapi anak-anak. Meski begitu, yang penting adalah kemauan untuk belajar bersama anak. Minta maaf ketika salah, memperbaiki cara kita merespons, menyediakan ruang aman, dan memberi contoh.

Karena sebelum dunia memperlakukan anak dengan keras, rumah harus menjadi tempat yang cukup lembut. Tempat di mana mereka belajar apa itu marah, apa itu sedih, bagaimana cara memeluk diri sendiri, dan bagaimana cara menghargai orang lain. Rumah adalah sekolah emosi pertama, dan kita semua baik disadari atau tidak sedang menjadi guru di dalamnya. (RIW)

Bagikan :
Rumah Sebagai Sekolah Emosi Pertama Anak

More Like This

Logo Heal

Kamu dapat menghubungi HEAL disini:

Heal Icon

0858-9125-3018

Heal Icon

00 31 (0) 6 45 29 29 12

Heal Icon

heal@sahabatjiwa.com

Copyright © 2023 HEAL X  Sahabat Jiwa