Mengenal 3 Seniman Indonesia yang Mengangkat Isu Kesehatan Mental Melalui Karyanya
oleh Ratih Ika Wijayanti

Seni adalah ruang jiwa, sebuah ruang yang bisa menjadi wadah ekspresi terdalam manusia. Melalui seni, seseorang bisa melepaskan lapisan-lapisan emosi yang sulit diungkapkan dalam bahasa sehari-hari. Di dalamnya, ada kebebasan untuk mengekspresikan rasa takut, luka, harapan, maupun kebahagiaan tanpa batasan.
Seni tidak hanya hadir sebagai karya estetika yang memanjakan mata atau telinga, tetapi juga berfungsi sebagai media ekspresi emosional yang mendalam. Bagi sebagian orang, menciptakan atau menikmati karya seni dapat menjadi bentuk terapi. Ini juga bisa jadi sebuah cara untuk menyalurkan perasaan yang sulit diucapkan dengan kata-kata. Itulah mengapa seni kerap dianggap sebagai jembatan antara dunia batin manusia dengan realitas sosial di sekitarnya.
Di tengah semakin terbukanya percakapan publik tentang kesehatan mental, sejumlah seniman Indonesia memilih menjadikan isu ini sebagai ruh dalam karya mereka. Dengan medium yang berbeda-beda, mereka tidak hanya menghadirkan estetika visual, tetapi juga ruang refleksi dan keberanian untuk bicara tentang hal-hal yang kerap dianggap tabu.
Oleh karena itu, HEALMates, mari kita telusuri bagaimana sejumlah seniman Indonesia mengangkat isu kesehatan mental ini dalam karya mereka. Berikut profil lengkapnya.
Profil 3 Seniman yang Mengangkat Isu Kesehatan Mental dalam Karyanya
Beberapa seniman yang luar biasa ini adalah Hana Madness, Kana Fuddy Prakoso, dan Peter Rian Gunawan. Mereka mengolah pengalaman, keresahan, sekaligus empati menjadi karya seni yang menyentuh, menggugah, dan mampu membuka dialog baru tentang pentingnya kesehatan mental di masyarakat.
1. Hana Madness

Hana Madness merupakan salah satu seniman Indonesia yang mengangkat isu kesehatan mental dalam karyanya. Seniman asal Jakarta ini juga menyematkan nama “Madness” pada profilnya sebagai bentuk reclaiming atas stigma “gila” yang sering dilekatkan pada orang dengan gangguan jiwa. Hana sendiri hidup dengan pengalaman personal terkait kesehatan mental, sehingga setiap karyanya lahir dari proses pergulatan batin sekaligus keinginan untuk meruntuhkan stereotip di masyarakat.
Dalam sebuah wawancara di salah satu media, Hana menceritakan perjalanan kariernya. Jauh sebelum dikenal sebagai seorang seniman, Hana Madness sudah lebih dulu melewati perjalanan hidup yang penuh luka. Ia pernah mengisahkan bagaimana masa remajanya, mulai dari duduk di bangku SMP hingga kuliah, dipenuhi pengalaman pahit yang membekas dalam ingatan. Saat itu, ia sering mengalami perlakuan tidak menyenangkan, termasuk kekerasan hingga pelecehan seksual yang memberi dampak besar terhadap kondisi mentalnya.
Akibat tekanan yang begitu berat, Hana akhirnya tidak mampu menuntaskan pendidikan formalnya. Sewaktu SMA, Hana juga divonis mengalami bipolar. Meski vonis itu sendiri baru diketahui setelah bertahun-tahun Hana mengalami gangguan kejiwaan. Namun, ia harus mengalami salah diagnosa berkali-kali hingga memperparah keadaannya.
“Sampai aku mendapatkan treatment yang salah yang memperparah kondisi aku saat itu, karena memang pengetahuan dan informasi tentang kesehatan jiwa memang belum sebanyak saat ini,” jelas Hana dalam sebuah wawancara.
Ia harus menjalani masa rehabilitasi untuk memulihkan kesehatan mentalnya. Di fase inilah ia merasa begitu terisolasi, tanpa ada tempat aman untuk mencurahkan perasaan. Satu-satunya pelarian yang ia temukan adalah seni, mencoret-coret kertas, meja kelas, hingga dinding dengan pensil, spidol, atau drawing pen. Baginya, coretan itu bukan sekadar gambar, melainkan teman setia yang mendengar keluh kesah tanpa menghakimi.
Perlahan, titik terang mulai muncul ketika Hana bertemu dengan seorang pria yang kelak menjadi pasangan hidupnya. Sosok inilah yang memperkenalkan medium kanvas kepadanya, membuka jalan baru dalam menyalurkan energi kreatif. Tidak lama setelah itu, sekitar tahun 2010, Hana mendapatkan kesempatan pertamanya bekerja dengan klien komersial. Karya miliknya bahkan dicetak dalam bentuk korek api hingga 5.000 buah yang tersebar di seluruh Indonesia, sebuah langkah awal yang tak disangka hadir dari pengiriman karya ke sebuah e-magazine.

Selanjutnya, pada Desember 2020 lalu, Hana juga berkesempatan berkolaborasi dengan Alexis Maxwell, yang merupakan seniman asal Inggris untuk menyajikan sebuah karya bertajuk “Celebrating Our Identity.” Proyek tersebut menjadi ruang eksplorasi pengalaman pribadi keduanya, khususnya dalam menghadirkan narasi mengenai disabilitas mental. Karya ini dituangkan melalui perpaduan ilustrasi, animasi, serta desain suara yang saling melengkapi.
Dalam pernyataan resmi di laman mereka, Hana dan Maxwell menuturkan bahwa keresahan yang mereka alami justru menjadi pemicu untuk mengubah pandangan negatif masyarakat terhadap isu kesehatan mental. Bagi mereka, tantangan terbesar bukan hanya gangguan mental itu sendiri, melainkan stigma sosial dan keterbatasan akses yang sering kali lebih menyakitkan.
Karya “Celebrating Our Identity” pertama kali dipresentasikan ke publik secara global melalui DaDaFest International Festival, sebuah festival seni dan disabilitas bergengsi di Inggris, yang berlangsung pada 3-13 Desember 2020.
Kini, meski status disabilitas kesehatan mental masih melekat padanya, Hana mengaku telah berdamai dengan dirinya sendiri. Ia tidak menutup mata bahwa masa lalu penuh dengan kesalahan dan penderitaan, baik terhadap dirinya maupun keluarganya. Namun, melalui seni, Hana menemukan kekuatan baru. Ia bisa bangkit, memberdayakan dirinya, sekaligus menyadarkan orang lain akan pentingnya memahami kesehatan mental.
2. Kana Fuddy Prakoso

Kana Fuddy Prakoso dikenal sebagai seniman visual yang menggabungkan estetika dengan kritik sosial. Ia sering menggunakan media tak konvensional, seperti kardus bekas, dalam karyanya. Salah satu pameran tunggalnya, KANÃ KANAKA, sangat istimewa karena menampilkan instalasi seni dari kardus yang menggugah persepsi kita terhadap benda-benda sederhana yang biasa kita temui sehari-hari.
Lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1997. Setelah itu, ia menapaki karier di bidang periklanan dan media luar ruang sebagai desainer billboard. Kehidupan keluarga kemudian membawa perubahan besar. Saat anak pertamanya lahir, Kana memutuskan untuk berhenti bekerja dan fokus merawat sang anak. Meskipun sempat vakum dari dunia seni, gairah dan kecintaannya terhadap seni tetap hidup dan tak pernah pudar.
Kana juga aktif dalam komunitas seni. Ia adalah pendiri dan pengelola Ruang Garasi, sebuah ruang seni di Jakarta yang menjadi tempat berbagi, belajar, dan berkolaborasi bagi para seniman. Kana Fuddy Prakoso percaya bahwa seni adalah medium yang kuat untuk mengekspresikan perasaan dan pengalaman pribadi.
Kepeduliannya terhadap isu kesehatan mental ditunjukkan dalam pameran Tombo Ati yang digelar pada Oktober 2023. Dalam pameran ini, Kana menggabungkan analisis ilmiah dengan emosi pribadinya yang kemudian menjadi dasar baginya untuk menciptakan karya seni yang mencerahkan dan membangkitkan perasaan.

Keunikan seni Kana juga tampak dari pameran Bukan Fiksi[E] Tapi Fakta di mana ia menggunakan sketsa sepeda di atas kardus untuk menggambarkan bagaimana seni dapat menjadi sarana untuk introspeksi dan pemahaman diri serta dunia di sekitar kita.
Kana telah berpartisipasi dalam berbagai pameran seni, baik di dalam maupun luar negeri. Beberapa pamerannya antara lain Dazzling Wallacea, Perth City Farm Place, Australia (2022), ICAD 12, Hotel Grand Kemang Jakarta (2022), hingga Affordable Art Fair Singapore, F1 Building Singapore (2022).
Selain itu, penghargaan yang pernah ia terima antara lain Penghargaan Karya Inovasi 2017, Institut Teknologi Bandung dan The 1st Place Best Performance Award, ASEAN Silk Fabric and Fashion Design Contest 2010, Thailand.
3. Peter Rhian Gunawan

Peter Rhian Gunawan juga masuk dalam jajaran seniman Indonesia yang mengangkat isu kesehatan mental dalam karyanya. Ia merupakan lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Desain Komunikasi Visual.
Peter adalah salah satu seniman yang peduli terhadap isu mental health. Karena itulah, dalam setiap karyanya, ia selalu menyelipkan pesan tentang kepeduliannya terhadap isu ini. Peter menciptakan karakter Redmiller Blood sebagai representasi dari konflik bawah sadar manusia. Sosok ini menggambarkan ketegangan antara citra diri yang ideal dan kenyataan emosional yang sering tersembunyi.
Peter menghadirkan karakter Redmiller Blood sebagai sosok animasi yang imut, dengan rambut merah dan mata besar. Menurutnya, karakter ini mencerminkan dorongan manusia untuk dicintai, dianggap berani, dan diterima oleh lingkungan sosialnya.
“Namun, seringkali manusia mengenakan terlalu banyak topeng demi diterima orang lain, hingga identitas asli mereka terkikis dan berdampak pada kesehatan mental,” ujarnya.

Peter menambahkan bahwa mata besar Redmiller Blood, yang terlihat tidak biasa, sebenarnya merupakan tetesan air mata berwarna pelangi. Tetesan ini melambangkan bahwa seberat apapun tantangan hidup, selama seseorang masih memiliki tekad dan harapan kepada Tuhan, ada kemungkinan untuk mencapai kebahagiaan di akhirnya.
Redmiller Blood dalam karya “Soaring in the Sky” pertama kali dipamerkan di booth G3N Project x Museum of Toys di “ArtMoments Jakarta”. Ini adalah sebuah acara tahunan yang menyatukan para penggemar seni dan kolektor dengan galeri-galeri ternama dan yang berlangsung hingga 20 Agustus 2023 di Grand Ballroom Hotel Sheraton Grand Jakarta Gandaria City.
Melalui karya-karyanya, Peter mengangkat tema-tema seperti:
- Kesehatan mental generasi muda, khususnya generasi Z yang sering tertekan oleh standar sosial dan budaya populer.
- Kehidupan sosial perkotaan yang penuh tuntutan dan ekspektasi.
- Refleksi diri dan introspeksi sebagai cara untuk menghadapi tantangan hidup.
Peter telah menggelar berbagai pameran seni, baik di dalam maupun luar negeri, antara lain:
- The Redmiller Blood Experience: Behind Those Eyes, Pameran interaktif pertama di Grey Art Gallery, Bandung, yang memadukan seni dan teknologi cahaya neon.
- The Great Ocean Stories, Pameran yang mengangkat tema perjalanan hidup manusia melalui simbolisme laut dan pantai, diselenggarakan di Grey Art Gallery, Bandung.
- Juxtapose, Kolaborasi dengan karya maestro Basoeki Abdullah, menggabungkan seni klasik dan pop art.
Nah HEALMates, itulah tiga seniman Indonesia yang mengangkat isu kesehatan mental melalui karya-karyanya. Ketiga seniman ini sungguh luar biasa, ya. Melalui karya dan kisah ketiga seniman ini, kita bisa belajar bahwa seni bukan sekadar estetika, tapi juga cermin hati dan perjalanan mental manusia. Jangan pernah takut untuk mengekspresikan diri dan merawat kesehatan mental, karena setiap tetes air mata pelangi pasti membawa harapan baru. (RIW)