Logo Heal

MENTAL HEALTH

Mental Health

Korupsi adalah Gangguan Kesehatan Mental?

Oleh :

“Sudah bukan rahasia lagi bahwa korupsi di Indonesia seakan telah menjadi penyakit sosial yang menahun. Hampir setiap tahun, masyarakat disuguhi berita tentang pejabat yang terjerat kasus korupsi, mulai dari tingkat daerah hingga pusat. Belakangan, bahkan muncul istilah “Klasemen Liga Korupsi Indonesia” setelah terungkapnya kasus di PT Pertamina Patra Niaga yang menempati posisi teratas dalam daftar skandal. Fenomena ini bukan hanya persoalan hukum atau kerugian negara. Lebih dari itu, korupsi juga erat kaitannya dengan kesehatan mental, baik dari sisi pelaku maupun dampaknya terhadap masyarakat luas.”

Oleh karena itu, HEALMates mari kita gali lebih dalam kaitan antara korupsi dan kesehatan mental, tidak hanya dari sisi individu pelaku, tetapi juga dari perspektif masyarakat luas, serta bagaimana ilmu psikologi modern menafsirkannya… Hhmm

Korupsi sebagai Indikator Mental yang Tidak Sehat

Ibnu Sina, seorang filsuf dan ilmuwan besar, pernah menyebutkan bahwa manusia dengan mental yang sehat memiliki ciri-ciri tertentu, antara lain: Emosinya stabil; Pikiran jernih; Harmoni lahir batin; Mampu menghidupkan spiritualitas dan moralitas.

Jika dicermati lebih dalam, para pelaku korupsi justru menunjukkan gejala sebaliknya. Mereka sering kali didorong oleh ketamakan, ketidakstabilan emosional yang membuat mereka selalu merasa kurang meski faktanya sudah memiliki segalanya, serta hilangnya harmoni antara spiritualitas dan tindakan nyata. Kurang bersyukur… Hm! Kalo boleh kami berkomentar lho, ya

Dalam pandangan Psikologi modern, perilaku koruptif dapat muncul dari beberapa faktor, seperti berikut:Narcissistic Personality Disorder (NPD): Pelaku merasa dirinya lebih penting daripada orang lain; berhak atas fasilitas atau kekayaan yang bukan miliknya; Borderline Personality Disorder (BPD): Kesulitan mengontrol emosi, impulsif, dan rela menabrak norma demi mendapatkan validasi atau pengakuan; Histrionic Personality Disorder (HPD): Mencari perhatian dan pengakuan sosial, salah satunya lewat flexing kekayaan hasil korupsi.

Hal ini bisa kita lihat dari fenomena para pejabat yang gemar sekali pamer mobil mewah, rumah megah, atau tas branded istri-istri mereka di akun sosial media. Bukan sekadar gaya hidup, jika ditelusuri lebih dalam perilaku ini juga bisa menjadi salah satu gejala gangguan mental.

Flexing, Korupsi, dan Luka Psikologis

HEALMates mungkin sering melihat berita pejabat atau keluarganya pamer harta di media sosial. Tren ini, yang populer disebut flexing, ternyata punya hubungan erat dengan korupsi. Tren flexing atau pamer kekayaan ini rupanya bisa menjadi salah satu faktor pendorong korupsi. Apalagi, dengan pesatnya perkembangan media sosial, ruang pamer ini pun semakin besar. Pejabat atau orang berpengaruh yang ingin menunjukkan gaya hidup glamor terkadang menempuh jalan pintas dengan melakukan korupsi.

Menurut Verywell Mind, flexing pada dasarnya adalah perilaku alamiah manusia. Bahkan juga Psychology Today menyebut bahwa pamer dalam dosis tertentu dapat bermanfaat, karena menumbuhkan kepercayaan diri dan kesiapan menghadapi tantangan. Namun, jika dilakukan secara berlebihan, flexing justru bisa menjadi gejala gangguan kesehatan mental, misalnya:
Histrionic Personality Disorder: ditandai dengan ketidakstabilan emosi dan kebutuhan ekstrem untuk diperhatikan.
Borderline Personality Disorder: kesulitan mengontrol suasana hati dan dorongan untuk selalu mencari validasi.
Narcissistic Personality Disorder: merasa lebih penting atau lebih hebat dibanding orang lain.

Ketika pejabat merasa perlu terus menunjukkan kekayaan dan status sosial, ada dorongan psikologis yang tak pernah puas. Keinginan membandingkan diri dengan orang lain menimbulkan rasa “kurang” yang berkelanjutan. Dari sinilah korupsi muncul sebagai “jalan pintas” untuk memenuhi standar hidup yang sebenarnya semu.

Pamer yang sehat biasanya ditujukan kepada diri sendiri, misalnya membagikan pencapaian kerja. Tetapi ketika pamer dijadikan alat untuk menutupi kekosongan batin atau mengkompensasi rasa rendah diri, hal itu justru bisa berubah menjadi gejala psikis berbahaya.

Beberapa dampak flexing yang berhubungan dengan kesehatan mental: Kecanduan validasi eksternal di mana pelaku merasa harus selalu diakui lewat pujian orang lain; Perasaan tidak pernah cukup dengan selalu membandingkan diri dengan orang lain dan merasa kurang.

Meningkatnya stres dan kecemasan karena tekanan untuk mempertahankan citra mewah bisa menimbulkan depresi.
Di sinilah letak kaitannya dengan korupsi, yakni ketika standar hidup tinggi tidak bisa dicapai dengan cara wajar, sebagian pejabat memilih jalan pintas dengan menyalahgunakan kekuasaan.

Dampak Korupsi terhadap Kesehatan Mental Publik

Korupsi bukan hanya merusak pelaku, tetapi juga menciptakan luka sosial yang mempengaruhi kesehatan mental masyarakat luas. Ada beberapa aspek yang bisa dijelaskan:
Hilangnya Rasa Percaya
Masyarakat yang melihat pejabat publik justru menjadi pelaku korupsi akan kehilangan kepercayaan pada institusi negara. Rasa tidak percaya ini menciptakan perasaan cemas, marah, dan frustasi. Dalam jangka panjang, ini bisa berkembang menjadi ketidakpedulian sosial.

Ketidakadilan Struktural
Korupsi membuat distribusi sumber daya tidak merata. Warga kecil yang seharusnya mendapatkan layanan publik malah harus membayar lebih mahal, atau tidak mendapatkan haknya sama sekali. Ketidakadilan ini menimbulkan stres kolektif.

Budaya Permisif
Ketika korupsi dianggap hal biasa, masyarakat bisa menjadi apatis. Ada semacam sikap seperti “semua orang juga melakukannya” yang pada akhirnya melanggengkan siklus korupsi. Kondisi ini tentu dapat mematikan semangat moral, membuat orang merasa tidak ada gunanya berbuat benar.

Tekanan Sosial
Masyarakat ikut terdorong untuk ikut-ikutan gaya hidup instan dan glamor. Mereka yang tidak mampu mengimbanginya berisiko mengalami depresi, kecemasan, atau merasa hidupnya gagal.

Kalau HEALMates pahami kembali, korupsi ini bukan hanya masalah individu. Lebih dari itu, dampaknya justru menetes ke masyarakat secara luas dan menimbulkan trauma kolektif. Penelitian Transparency International (2022) juga mencatat bahwa 71% masyarakat Indonesia percaya korupsi dalam pemerintahan masih marak terjadi. Kondisi ini menimbulkan rasa frustasi, ketidakpercayaan pada institusi, bahkan apatisme politik.

Dari sisi kesehatan mental, masyarakat yang terus-menerus terpapar berita korupsi bisa mengalami beberapa hal seperti:

Learned helplessness: merasa percuma melawan karena semua pejabat dianggap sama saja.
Stres ekonomi: akibat kebocoran anggaran, pelayanan publik memburuk dan biaya hidup semakin tinggi.
Ketidakpercayaan sosial: hubungan antarwarga melemah karena budaya “uang pelicin” dianggap normal.

Kasus sederhana bisa kita lihat di sektor kesehatan. Korupsi pengadaan alat medis di masa pandemi COVID-19 menyebabkan keterlambatan distribusi oksigen dan obat-obatan. Akibatnya, bukan hanya nyawa melayang, tetapi juga muncul trauma mendalam bagi keluarga korban.

Kesehatan Mental sebagai Antikorupsi
Menariknya, diskusi tentang korupsi jarang menyinggung dimensi kesehatan mental. Padahal, memahami korupsi sebagai bentuk ketidakwarasan moral dan psikologis dapat membuka pendekatan baru dalam pencegahannya.

HEALMates, mari kita tarik lebih jauh ke ranah psikologi sosial. Mengapa korupsi terus berulang?

Menurut teori Social Learning Albert Bandura, perilaku menyimpang bisa menular melalui observasi. Ketika masyarakat melihat pejabat korupsi tetapi tetap dihormati atau dihukum ringan, muncullah normalisasi. Korupsi dianggap bagian dari “budaya sukses cepat”.

Data KPK (2023) menunjukkan, dari 1.400-an kasus korupsi yang ditangani sejak 2004, mayoritas pelaku adalah pejabat publik. Fenomena ini memperkuat persepsi masyarakat bahwa “kalau ingin kaya, jadilah pejabat.” Dampak psikologisnya adalah distorsi moral: kejujuran dianggap bodoh, sementara manipulasi dianggap cerdas.
Korupsi sejatinya bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga persoalan mentalitas. Maka solusinya juga harus menyentuh ranah psikologi dan budaya. Beberapa langkah relevan yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal ini antara lain:

Pendidikan mental sejak dini: menanamkan integritas, pengendalian diri, dan rasa cukup.

Dukungan kesehatan mental untuk pejabat publik: bukan hanya tes kesehatan fisik, tetapi juga evaluasi kesehatan psikologis.

Budaya transparansi: ketika masyarakat bisa ikut mengawasi, tekanan untuk berbuat jujur akan lebih besar.

Melek digital dan literasi sosial: agar masyarakat tidak terjebak pada budaya flexing yang memicu perilaku konsumtif berlebihan.

HEALMates, korupsi tidak bisa hanya dipandang sebagai kejahatan hukum atau persoalan administrasi negara. Persoalan ini merupakan refleksi dari kondisi mental manusia yakni gambaran kecil ketika ambisi mengalahkan moralitas, ketika rasa cukup hilang ditelan pamer, dan ketika jiwa kehilangan harmoni dengan tubuh serta lingkungannya.

Masyarakat yang sehat mentalnya akan lebih tahan terhadap godaan korupsi. Sebaliknya, korupsi yang dibiarkan merajalela akan terus memperburuk kesehatan mental kolektif bangsa. Maka, membangun bangsa yang bebas korupsi sejatinya sama dengan membangun bangsa yang sehat lahir batin (IN/ RIK/ MGK).

Dari berbagai sumber:

Unseen Scars: The Devastating Impact of Corruption on Mental Health Systems in Low and Middle-Income Countries

https://www.frontiersin.org/journals/public-health/articles/10.3389/fpubh.2024.1269579/full

Bagikan :

More Like This

Logo Heal

Kamu dapat menghubungi HEAL disini:

Heal Icon

0858-9125-3018

Heal Icon

heal@sahabatjiwa.com

Copyright © 2023 HEAL X  Sahabat Jiwa