Logo Heal

MENTAL HEALTH

Mental Health

Kasus Tumbler Hilang Bisa Berujung Pelanggaran Hak Asasi? Ini Alasannya

Kasus Tumbler Hilang Bisa Berujung Pelanggaran Hak Asasi? Ini Alasannya

Oleh :

HEALMates , beberapa hari terakhir, dunia maya mendadak penuh drama gara-gara… sebuah tumbler. Iya, benda kecil yang biasanya kita bawa buat ngopi atau minum air putih itu. Tapi siapa sangka, kehilangan tumbler bisa mengarah pada potensi hilangnya mata pencaharian seorang petugas kereta?. Terdengar berlebihan? Mungkin. Tapi begitulah cara dunia digital bekerja. Hal kecil pun bisa memantik ledakan besar.

Sebelum kita buru-buru ikut marah atau menyalahkan orang-orang di internet, yuk kita bedah ceritanya pelan-pelan.

 

Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Awalnya, seorang penumpang KRL mengaku tumbler miliknya hilang dari tas. Saat itu, petugas kereta sebenarnya sudah menemukan tas penumpang yang sempat tertinggal. Namun, mereka tidak membuka dan mengecek isi tas, karena memang itu bagian dari prosedur. Kemudian, barang yang ditemukan diserahkan utuh tanpa membongkar isinya. Ketika tas diserahkan kembali, si pemilik langsung protes karena tumbler-nya tidak ada.

Merasa dirugikan, pemilik meminta akses rekaman CCTV. Pihak kereta menjelaskan bahwa prosedurnya membutuhkan surat kehilangan terlebih dahulu agar akses tersebut bisa diproses secara resmi. Aturan ini sejatinya prosedur standar yang harus diikuti, petugas hanya menjalankan perintah. Namun, pemilik tumbler tidak mau mengikuti prosedur yang menurutnya ribet dan mengambil langkah  untuk memviralkan kejadian tersebut di media sosial. Unggahan pemilik tumbler cepat merebak. Banyak warganet langsung berpihak kepadanya. Tak sedikit yang menuduh petugas kereta lalai, tak bertanggung jawab, bahkan berspekulasi bahwa tumbler sengaja diambil. Semuanya karena kecurigaan dan curhatan pemilik tumbler. Desakan agar petugas diberi sanksi pun bermunculan.

 

Ketika Viral dan Amarah Publik Mengubah Kita Jadi Hakim

Setelah unggahan viral, gelombang opini publik membesar tanpa terbendung. Petugas yang saat itu sedang menjalankan tugas standar justru harus menghadapi tekanan luar biasa. Ada isu bahwa ia akan dipecat. Padahal, fakta lengkap belum keluar.

Situasi mulai berubah ketika teman petugas kereta itu speak up. Ia menjelaskan kronologi versi petugas, termasuk bahwa tas ditemukan utuh, petugas berusaha membantu, bahkan sempat ingin mengganti tumbler secara pribadi hanya agar masalah cepat selesai.

Di titik ini, opini publik berputar balik. Banyak warganet mulai menyalahkan pemilik tumbler yang dianggap tergesa-gesa memviralkan kejadian tanpa memastikan detailnya dulu. Ada yang menilai ia terlalu ingin menang di media sosial, dan terlalu cepat menyimpulkan petugas tidak jujur. Padahal, pemilik tumbler sebenarnya juga tidak luput dari kesalahan Bahasa gampangnya sih, ada unsur kelalaian sendiri. Tasnya sempat tertinggal, tumbler ada di dalam tas, dan dalam situasi ramai seperti KRL, kemungkinan barang bergeser, jatuh, atau tertinggal itu selalu ada. Tapi karena emosi sudah naik duluan, semua kesalahan langsung dianggap berasal dari petugas.

Kejadian ini juga membuat petugas kereta mengalami tekanan psikologis yang berat. Dia hanya bekerja, ada yang kehilangan sudah dibantu carikan sesuai prosedur, eh tiba-tiba dituduh tidak jujur dan viral di internet. Pekerjaannya langsung dipertaruhkan hanya karena satu unggahan yang belum tentu benar. Fenomena seperti ini sebenarnya bukan hal baru, apalagi di era media sosial yang serba cepat. Publik online sering berubah jadi hakim dan juri dalam hitungan menit. Cuma dari satu video, satu foto, atau satu postingan, orang-orang langsung membuat kesimpulan seolah sudah tahu semua detailnya.

Di sinilah muncul fenomena yang disebut scapegoating atau mencari kambing hitam. Ini terjadi ketika ada seseorang yang dianggap paling mudah disalahkan, meskipun belum tentu dia penyebab masalahnya. Gara-gara satu unggahan yang viral, petugas kereta ini otomatis jadi pihak yang paling gampang dituduh bersalah. Parahnya lagi, ia tidak diberi kesempatan untuk klarifikasi atau menjelaskan versinya . Makanya kasus ini menunjukkan bahwa  satu postingan bisa membuat seseorang hampir kehilangan haknya untuk bekerja, hanya karena publik terlalu cepat mengambil posisi sebagai hakim.

 

Tentang Keadilan: Apakah Sesuatu yang Viral Selalu Benar?

Satu hal penting yang bisa kita ambil dari kasus ini adalah agar jangan buru-buru menyalahkan atau memviralkan sesuatu kalau kita belum tahu cerita dari dua sisi. Banyak orang berpikir bahwa membuat sesuatu menjadi viral akan mempercepat penyelesaian masalah. Padahal, belum tentu begitu ya. Kadang, kita lupa bahwa kita sendiri juga bisa lalai. Barang hilang bisa terjadi karena situasi ramai, kurang waspada, atau sekadar momen apes. Tapi karena emosi duluan, kita langsung menunjuk orang lain sebagai penyebabnya. Di sinilah seharusnya kita berhenti sejenak dan introspeksi, bukan langsung menyudutkan orang lain. .

Tindakan terburu-buru yang  kurang empati ini juga bisa membahayakan orang lain. Satu unggahan bisa membuat seseorang kehilangan kepercayaan diri, reputasi, bahkan hampir kehilangan pekerjaan. Kita sering tidak sadar bahwa di balik seragam petugas, ada manusia dengan keluarga, kebutuhan, dan rasa aman yang sama seperti kita.

Intinya, sebelum kita memviralkan sesuatu, tanyakan dulu:
“Aku mau mencari solusi, atau cuma ingin dibela di internet?”
Karena kalau kita salah langkah, bukan masalahnya yang cepat selesai. Justru, dampaknya yang cepat menyakiti orang lain.

 

Yuk Biasakan Diri untuk Memiliki Empati

Ada beberapa langkah sederhana yang bisa kita mulai dari sekarang agar bisa lebih bijak dan berempati. Yuk kita simak.:

  1. Pikir Dulu Sebelum Membagikan.
    Informasinya belum lengkap? Tahan dulu. Viral bukan perlombaan siapa paling cepat menyebarkan kabar.
  2. Beri Ruang untuk Klarifikasi.
    Setiap orang berhak menjelaskan versinya. Jangan langsung menghakimi hanya dari satu sudut cerita.
  3. Ingat Bahwa Media Sosial Bukan Pengadilan.
    Ada prosedur resmi yang dibuat untuk alasan yang jelas, termasuk memastikan keputusan tidak diambil secara emosional.
  4. Sadari Bahwa Pekerja Lapangan Punya Resiko Besar.
    Mereka bekerja di bawah tekanan, berhadapan langsung dengan situasi yang tidak selalu mudah. Satu tuduhan saja bisa meruntuhkan karier mereka.
  5. Jangan Terbawa Emosi
    Bukannya melarang untuk marah. Saat kehilangan pasti ada rasa marah, tapi kamu harus tahu batas. Jangan sampai menjadikan orang lain sebagai pelampiasan.

Pada akhirnya, yang kehilangan tumbler mungkin hanya kehilangan barang kecil. Namun petugas yang dituduh bisa kehilangan pekerjaan, nama baik, dan rasa aman. Perbandingan ini jelas tidak seimbang, dan di situlah pentingnya kita lebih berhati-hati.

 

Kita bisa membeli tumbler baru kapan saja. Tapi nama baik seseorang? Itu bisa hancur hanya lewat satu unggahan yang terburu-buru. Kasus ini mengingatkan kita bahwa tidak semua yang viral mencerminkan kebenaran. Dan bahwa rasa adil tidak boleh ditentukan oleh suara terbanyak, tapi oleh proses dan empati.

Di balik setiap unggahan viral, selalu ada manusia, keluarga, dan masa depan. Mari jadi bagian dari publik yang tidak hanya cepat bereaksi, tapi juga cepat berpikir dan cepat berempati. Kita perlu menjaga hati dan empati saat hidup berdampingan dengan orang lain.

 

Bagikan :
Kasus Tumbler Hilang Bisa Berujung Pelanggaran Hak Asasi? Ini Alasannya

More Like This

Logo Heal

Kamu dapat menghubungi HEAL disini:

Heal Icon

0858-9125-3018

Heal Icon

00 31 (0) 6 45 29 29 12

Heal Icon

heal@sahabatjiwa.com

Copyright © 2023 HEAL X  Sahabat Jiwa