Banyak orang yang masih bertanya-tanya apakah Indonesia sudah memiliki aturan khusus tentang kesehatan mental pekerja. Sebetulnya, kalau aturan hitam di atas putihnya, kesehatan mental pekerja sudah disebut dalam regulasi. Artinya, secara undang-undang, kesehatan mental pekerja sudah dilindungi.
Meski demikian, pada praktiknya banyak juga perusahaan yang masih belum mengikuti regulasi ini. Inilah kenapa banyak anggapan bahwa mental health pekerja di Indonesia belum diperhatikan. Agar pembahasan kita lebih mendalam, yuk HEALMates kita ulas selengkapnya dalam artikel berikut ini!
Isu Kesehatan Mental dalam UU Ketenagakerjaan
Kesehatan mental pekerja bukan lagi isu “tambahan” di tempat kerja, tapi justru merupakan fondasi. Sebab, kondisi psikologis yang sehat terbukti memengaruhi produktivitas, kreativitas, bahkan kualitas hidup seseorang secara keseluruhan.
Bicara data, World Health Organization (WHO) mencatat bahwa gangguan mental seperti depresi dan kecemasan bahkan membuat ekonomi global kehilangan produktivitas sekitar 1 triliun dolar AS setiap tahunnya. Angka ini bukan sekadar statistik di slide presentasi, lho HEALMates. Ini seakan jadi representasi jam kerja yang hilang, energi yang terkuras, dan potensi manusia yang nggak sempat mekar.
Indonesia juga punya ceritanya sendiri. Kementerian Kesehatan pernah mengungkap hasil survei yang menunjukkan bahwa sekitar 6% karyawan merasakan gejala depresi akibat tekanan pekerjaan. Meski terlihat “kecil”, angka ini setara jutaan individu yang berangkat ke kantor sambil perang dengan pikirannya sendiri, diam-diam, tanpa tepuk tangan, apalagi bantuan.
Faktanya, pegawai dengan mental yang sehat cenderung lebih produktif, kreatif dan inovatif, serta bisa merasa puas dan terhubung dengan pekerjaannya.
Ironisnya? Hal yang paling berdampak ini justru paling sering diabaikan. Ketika mental health terpinggirkan, yang ikut rontok bukan cuma angka produktivitas, tapi juga semangat, relasi di kantor, dan cara seseorang melihat masa depannya sendiri. Karena pada akhirnya, workplace bukan hanya soal target dan jam masuk, tapi sebuah uang tempat manusia menghabiskan separuh hidupnya.
Kalau kita buka lagi dalam payung hukumnya, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan masih jadi rujukan utama meski sudah diubah beberapa kali lewat omnibus law. Ada satu pasal yang relevan soal ini.
Di Pasal 35 ayat (3), tertulis bahwa pemberi kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup:
“kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.”
Artinya apa, HEALMates? Secara normatif, kesehatan mental pekerja itu diakui dan dilindungi. Jadi, pemberi kerja nggak boleh cuma mikirin badan sehat, tapi juga kondisi psikologis pekerjanya. Selain itu, ada juga Pasal 86 ayat (1) yang menyebutkan bahwa setiap pekerja/buruh berhak mendapat perlindungan atas:
- keselamatan dan kesehatan kerja;
- moral dan kesusilaan;
- perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia dan nilai-nilai agama.
Dua pasal ini jadi dasar bahwa secara hukum, negara sudah mengakui bahwa pekerja berhak atas lingkungan kerja yang aman, sehat, dan manusiawi, secara fisik dan mental.
Selain UU Ketenagakerjaan, sebenarnya payung besar kesehatan mental ini ada pada UU Kesehatan Jiwa dan UU Kesehatan 2023. Sebelum UU Kesehatan yang baru, kita punya UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. UU ini menegaskan bahwa:
- setiap orang berhak menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat;
- bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang mengganggu kesehatan jiwa;
- serta berhak mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa.
Sekarang, banyak ketentuan soal kesehatan jiwa diserap ke dalam UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang menjadi payung besar bidang kesehatan di Indonesia. UU ini juga memuat bab tentang kesehatan jiwa dan menyebut bahwa:
- untuk pekerjaan/jabatan tertentu, wajib dilakukan pemeriksaan kesehatan jiwa (lihat Pasal 84 UU 17/2023).
- Pemerintah bertanggung jawab menyelenggarakan upaya kesehatan, termasuk kesehatan jiwa, secara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Di level teknis, sebenarnya ini sudah diperjelas lewat Permenkes No. 29 Tahun 2022 tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Jiwa untuk Kepentingan Pekerjaan atau Jabatan Tertentu. Aturan ini antara lain menyebut bahwa:
- sebelum menjalankan pekerjaan/jabatan tertentu, seseorang wajib menjalani pemeriksaan kesehatan jiwa;
- pemeriksaan juga bisa dilakukan jika ada potensi psikopatologi selama atau setelah melaksanakan pekerjaan tertentu.
Jadi, HEALMates secara prinsip negara mengakui kesehatan jiwa sebagai hak asasi dan menghubungkannya dengan dunia kerja, meski tidak semua jenis pekerjaan diatur secara spesifik.
Kenapa Masih Banyak yang Merasa Mental Health Belum Diperhatikan?
Ini dia bagian menariknya, HEALMates. Nah, kalau menurut sejumlah penelitian mengenai hal ini, banyak menyoroti bahwa UU 13/2003 dan UU Kesehatan (UU 17/2023) belum mengatur secara jelas mekanisme perlindungan kesehatan mental pekerja. Misalnya, standar penanganan pekerja dengan gangguan mental, kewajiban perusahaan menyediakan layanan psikolog, atau prosedur khusus untuk kasus kekerasan psikologis di kantor.
Dengan kata lain, UU-nya ada payung besarnya, tapi detail teknis perlindungannya masih minim dan tersebar di berbagai aturan turunan. Makanya nggak heran kalau banyak pekerja yang masih merasa, aturannya hanya ada di atas kertas tapi praktiknya nggak kerasa di lapangan.
Jadi, kalau ada anggapan bahwa Indonesia belum mengatur kesehatan mental dalam UU Ketenagakerjaan, jawabannya sudah ya, HEALMates. Hanya saja, aturan spesifik pelaksanaannya belum ada. Semoga penjelasan ini bisa bermanfaat ya, HEALMates. (RIW)

