Halo HEALMates! Semoga kamu sedang dalam kondisi baik atau setidaknya sedang berusaha bertahan dengan sebaik mungkin hari ini. Kali ini kita akan membahas hal yang sebenarnya penting banget, apalagi buat teman-teman yang sedang atau pernah berhadapan langsung dengan masalah kesehatan mental. Ya betul, tentang hak Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dalam mengakses layanan kesehatan mental, khususnya di tengah perubahan sistem rujukan BPJS yang katanya bakal mulai diterapkan penuh di tahun 2026.
Mungkin kamu sudah dengar sekilas dari berita atau media sosial. Katanya sekarang BPJS mau bikin sistem baru yang lebih cepat, lebih praktis, dan lebih manusiawi. Pasien nggak perlu lagi muter-muter dulu lewat banyak jenjang. Tapi pertanyaannya, apakah perubahan ini benar-benar akan membantu ODGJ? Yuk, kita pelajari pelan-pelan.
Realita Akses Layanan Jiwa Saat Ini
Kalau ngomongin pengalaman mengakses layanan kesehatan mental hari ini, masih banyak hal tidak menyenangkan ya. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Tim Riset HEALMates pada Agustus 2025 dengan 250 responden, masih cukup banyak yang menganggap proses rujukan lewat Faskes 1 atau puskesmas itu menguras tenaga dan emosi.
Sebanyak 23 orang menyebut prosesnya lama dan rumit, 51 orang merasa cukup lama, sementara 91 orang mengaku prosesnya cepat dan 85 orang merasa cepat dan mudah. Angka-angka ini menunjukkan satu hal penting. Memang pengalaman setiap orang sangat berbeda. Nah, ini juga yang membuka mata kita bahwa sistem yang ada belum adil dan merata semua masyarakat.
Di balik angka-angka itu, ada cerita yang lebih dalam. Ada yang harus antre panjang sampai cemasnya makin parah. Ada yang bolak-balik ke puskesmas sampai tiga kali kunjungan hanya untuk mendapatkan surat rujukan. Ada yang merasa pertanyaannya diulang-ulang, tidak relevan, atau bahkan disuruh “coba lebih banyak istirahat” dan “perbanyak ibadah”, sementara kondisi mentalnya sudah di titik yang sangat rapuh. Tidak sedikit juga yang merasa diremehkan, tidak didengar, bahkan seperti dianggap berlebihan.
Yang lebih menyayat hati, ada responden yang bercerita bahwa mereka diberi tahu oleh temannya kalau ingin rujukan lebih cepat, mereka disarankan pergi dulu ke klinik (bukan puskesmas) dan membawa surat keterangan diagnosis. Masalahnya, klinik itu tidak ditanggung BPJS. Artinya mereka harus bayar sendiri. Demi dapat akses yang seharusnya menjadi hak, mereka dipaksa mengeluarkan uang tambahan. Di titik ini, sistem yang seharusnya melindungi justru berubah menjadi seleksi diam-diam. Sistem yang lebih mengutamakan mereka yang memiliki uang.
Belum lagi soal minimnya fasilitas kesehatan jiwa di tingkat pertama. Di Indonesia, puskesmas atau Faskes 1 yang memiliki psikolog atau psikiater itu masih sangat langka. Dari temuan lapangan kami, fasilitas layanan jiwa yang relatif lengkap dan memadai justru terkonsentrasi di kota-kota besar seperti Jakarta dan Yogyakarta. Di luar itu, banyak pasien yang akhirnya harus dirujuk ke kota lain. Tak heran jika dalam survei, banyak responden menggambarkan pengalamannya dengan kata: “ribet”, “melelahkan”, dan “bikin makin drop”. Padahal, seseorang yang sedang berjuang dengan kondisi mental dan harapan bertahan hidup hanya butuh sistem yang mendukung mereka.
Sistem Baru BPJS 2026
Di tengah semua keluhan ini, pemerintah mulai memperkenalkan perubahan sistem rujukan BPJS yang rencananya diterapkan pada 2026. Konsepnya tidak lagi memakai sistem bertingkat seperti tangga. Sebelumnya sistem rujukan dimulai dari puskesmas ke rumah sakit kelas 1, lalu naik lagi ke yang lebih tinggi. Nah, sebagai gantinya, akan digunakan rujukan berbasis kompetensi.
Gampangnya begini HEALMates, pasien akan dirujuk langsung ke fasilitas kesehatan yang memang punya kemampuan (kompetensi) untuk menangani kondisinya, bukan lagi berdasarkan “kelas” rumah sakitnya. Jadi kalau seseorang mengalami gangguan mental yang membutuhkan psikiater dan layanan kesehatan jiwa, secara teori ia bisa langsung diarahkan ke rumah sakit yang punya layanan kejiwaan lengkap. Berbeda dengan sistem sebelumnya yang harus muter-muter dulu ke tempat yang bahkan tidak punya tenaga ahli di bidang tersebut.
Buat ODGJ, perubahan ini terdengar seperti angin segar. Bayangin kamu datang dengan kecemasan berat, depresi, atau kondisi kejiwaan serius lainnya, lalu kamu tidak perlu lagi berlama-lama di ruang tunggu puskesmas yang ramai dan bising. Kamu tidak perlu menjelaskan hal yang sama berulang-ulang ke banyak orang. Kamu tidak perlu berpindah-pindah tempat hanya untuk akhirnya sampai ke ruang psikiater yang seharusnya kamu temui sejak awal.
Kalau sistem ini benar-benar berjalan sesuai rencana, akses bisa jadi lebih cepat, lebih relevan, dan lebih manusiawi. ODGJ yang berada dalam kondisi darurat psikologis bisa mendapat penanganan lebih tepat waktu. Dari sisi hak atas kesehatan mental, kebijakan ini jelas terlihat sebagai langkah maju yang penting. Tapi tentu saja, HEALMates, kebijakan yang bagus di atas kertas harus dikawal agar menjadi solusi di dunia nyata.
Tantangan Besar yang Masih Harus Dibereskan
Kita tidak bisa tutup mata terhadap kenyataan bahwa perubahan sistem saja tidak cukup jika infrastruktur dan sumber daya manusianya belum siap. Sampai saat ini, masih banyak puskesmas yang tidak memiliki psikolog, apalagi psikiater. Layanan psikoterapi juga masih sangat jarang tersedia di FKTP dan tidak selalu ditanggung BPJS. Padahal, ODGJ tidak hanya butuh obat. Berdasarkan survei mayoritas dari mereka lebih butuh terapi, pendampingan, konseling, dan dukungan jangka panjang untuk bisa pulih secara menyeluruh.
Di tingkat rumah sakit pun, belum semua fasilitas memiliki layanan kejiwaan yang lengkap. Ada yang punya psikiater tapi tidak punya ruang rawat khusus. Ada yang punya ruang rawat tapi kekurangan tenaga pendukung. Ada pula masalah stok obat yang tidak stabil, memaksa pasien membeli sendiri obat yang seharusnya ditanggung BPJS. Beberapa responden juga mengeluhkan seringnya pergantian dokter, sehingga proses pemulihan terasa terputus-putus dan tidak konsisten. Jadi, apakah dengan sistem baru BPJS ini hak ODGJ akan langsung terpenuhi? Jawabannya mungkin akan lebih baik dari sebelumnya, tapi belum sempurna. Sistem baru ini membuka pintu yang lebih lebar dan lebih masuk akal. Tapi di balik pintu itu, kita masih butuh ruangan yang siap, orang-orang yang terlatih, obat yang tersedia, dan pelayanan yang benar-benar manusiawi.
HEALMates, kita punya peran besar untuk terus menyuarakan pengalaman, mengkritisi kebijakan, dan memastikan perubahan ini bukan cuma wacana. Kesehatan mental bukan hak istimewa, namun hak dasar setiap manusia. Dan selama masih ada ODGJ yang harus bertarung melawan birokrasi hanya untuk bisa ditangani, artinya masih ada hal yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan.

