Logo Heal

ART, MONEY & TECHNOLOGY

Art, Money & Technology

Eprisa Nova Rahmawati, dari Kursi Roda ke Panggung Wisuda dan Pameran Lukisan

Eprisa Nova Rahmawati, dari Kursi Roda ke Panggung Wisuda dan Pameran Lukisan

Oleh :

Ketika namanya dipanggil di daftar wisuda ke-77 Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), tepuk tangan pun bergema. Semua mata tertuju pada seorang gadis cantik yang kehidupannya sangat inspiratif. Di balik toga dan senyumnya yang sumringah, Eprisa merasakan syukur tiada terkira. Entah sudah berapa banyak cerita hidupnya dipikul dan disimpan sendiri, sebuah perjuangan panjang, tentang patah, bangkit, dan  kuas yang jadi sahabat setia.

Narasi ini hanyalah sebuah gambaran singkat bagaimana seorang Eprisa Nova Rahmawati, mahasiswi asal Banjarnegara yang menjadi penyandang disabilitas, berhasil meraih predikat magna cum laude (IPK 3,77) dari Fakultas Teknik dan Sains UMP dan menggelar pameran lukisan tunggal. 

“Terima kasih untuk hati yang lebih memilih bangkit daripada menyerah, meskipun berkali-kali terjatuh dan merasa tidak ada lagi kekuatan untuk melanjutkan. Terima kasih untuk keberanian memilih bangga menjadi berbeda daripada menyembunyikannya, dan memilih merayakan perbedaan ini daripada menyesalinya seumur hidup,” tuturnya dalam pidato kelulusannya. 

Perlu digarisbawahi bahwa Eprisa menjadi perhatian bukan karena ia seorang disabilitas, tapi karena prestasinya yang luar biasa. Di balik segala keterbatasannya, ia tetap menjadi unggul dan berdaya. Sesuatu yang bahkan tidak semua orang bisa lakukan. Kalau hidup adalah kanvas, maka Eprisa memilih untuk melukis harapan, bukan menyerah. 

Sebuah Diagnosa yang Mengubah Hidup

Kisah Eprisa tidak dramatis sejak lahir. Dalam sebuah wawancara, Eprisa mengungkapkan bahwa ujian ini datang ketika ia duduk di bangku kelas 3 SMP. Dokter mendiagnosis penyumbatan di sumsum tulang belakang yang membuat saraf motoriknya lumpuh total. Akibatnya, sejak itu ia tak lagi bisa berjalan dan kursi roda menjadi “kendaraan” sehari-harinya.

Waktu itu, Eprisa merasa dunianya berhenti. “Saya takut, saya malu, bahkan sempat menutup diri karena merasa minder.” kenangnya.

Tentu saja, berbagai pengobatan dijalaninya, dari medis hingga alternatif. Namun, Tuhan memang memiliki jalan cerita yang lain untuknya. Kondisi Eprisa tetap tak berubah dan selama beberapa tahun ini, ia harus duduk di kursi roda. 

Bagi banyak orang, vonis semacam itu bisa menjadi pintu untuk menyerah. Tapi, bagi Eprisa, pintu itu menjadi gerbang yang kadang terasa mengecil, tapi harus dia lewati. Dalam kesenyapan malam, dalam tangis yang tak pernah terekam kamera , ia mungkin berbicara pada dirinya sendiri,  “Aku bisa.” 

Eprisa mulai menerima, bangkit, dan mengubah cara dia membaca batas dirinya sendiri. Dia belajar bahwa batas bukan berarti “tidak bisa lagi” melainkan “cara baru menemukan bisa yang lainnya.”

Kampus Jadi Rumah Kedua yang Menerima

Masuk ke UMP bukan sekadar “melanjutkan pendidikan” bagi Eprisa, itu adalah mode reboot baginya. Sebuah kesempatan untuk membuka pintu hati dan pikiran kembali. Kampus seakan menjadi “rumah kedua” yang (untungnya) melunak atas hak-haknya sebagai mahasiswa disabilitas.

Menurut Eprisa, teman-teman kampus tak memperlakukannya dengan beda-beda. Mereka biasa-biasa saja, kadang bahkan mengundangnya bercanda, dan lupa bahwa dia berbeda. 

Pihak kampus pun dianggapnya cukup suportif, bahkan menyediakan mess (asrama) yang letaknya memudahkan aktivitasnya untuk kuliah. Fasilitas yang dirancang lebih ramah dan kebijakan beasiswa penuh dari rektor untuk memuluskan perjalanan akademiknya. 

HEALMates mungkin bisa membayangkan, setiap langkah yang bagi kita terasa biasa, masuk kelas, ke kantin, ke perpustakaan, tapi bagi Eprisa harus dijalani dengan penuh perjuangan. “Awalnya saya takut bersosialisasi. Tapi di kampus, saya belajar membuka diri lagi.” ujar Eprisa.

Lukisan Jadi Terapi dan Curahan Jiwa

Sejak kecil, Eprisa sudah punya bakat melukis. Tapi ketika dunia fisiknya ikut berubah, lukisan-lukisan itu bukan lagi sekadar hobi. Ia menjadikan lukisan sebagai outlet emosi, sebagai media untuk “bicara” ketika kata-kata terasa patah. 

“Kadang saya enggak bisa cerita langsung ke orang. Jadi saya tuangkan lewat kuas dan warna,” ujarnya. 

Warna, goresan, bayangan, semuanya seakan menjadi bahasa baru. Ada karyanya yang menggambarkan kesendirian, ada yang menggambarkan harapan, ada juga yang mengguratkan ketidakpastian. Dalam pameran tunggal yang digelarnya bertepatan dengan hari wisuda, ia bahkan menyumbangkan 20 karya. Semua lukisan “mewakili pergulatan emosi dan perjuangannya selama ini.” 

Pameran tunggal itu tentunya bukan hal kecil. Dia mempersiapkannya sejak Juni, merancang tema dan mood, mencari galeri, mempersiapkan framing dan pencahayaan, sambil tetap menuntaskan tugas kuliah, skripsi, serta kehidupan “normal” sebagai mahasiswa. 

Spektrum lukisannya tidak bisa dibilang “berat” dalam arti kaku atau terlalu elit. Justru yang menarik adalah bagaimana keterbatasan fisik menghasilkan kekayaan ekspresi. Dalam satu lukisan tampak siluet manusia dan bayangan samar, dalam lukisan lain tampak warna merah dan jingga yang menyala, seperti ledakan emosi. Beberapa karya cenderung abstrak, beberapa lainnya masih punya elemen figuratif, mungkin perempuan, mungkin kursi roda, mungkin sebuah tangan yang meraih.

Kalau kamu berada dalam ruangan pamerannya, kamu bisa mendengar banyak dialog, tatapan pengunjung pada kanvas, desah “wah” yang keluar tiba-tiba, dan mungkin satu dua yang menangis diam-diam. Tidak ada musik latar, tapi tiap lukisan punya narasi sendiri.

Lukisan menjadi bahasa yang tak butuh verifikasi medis atau simpati. Ia adalah kesetaraan estetis yang seakan secara tegas mengatakan, “Setiap orang memiliki ruang di atas kanvas.”

Skripsi, Aplikasi, dan Impian Petani

Tak hanya jago di bidang seni, Eprisa juga produktif dalam ranah ilmiah. Untuk skripsinya, dia mengembangkan aplikasi berbasis kamera untuk mendeteksi penyakit tanaman tomat. Ide ini lahir dari latar belakang keluarganya, di mana orang tuanya adalah petani yang hidup dari sawah. 

Dengan aplikasi tersebut, petani bisa memotret daun tanaman mereka menggunakan kamera ponsel, kemudian aplikasi akan memberi tahu apakah tanaman itu terkena penyakit, dan jika iya, petani bisa tahu jenis penyakitnya. Tujuannya yakni untuk memudahkan petani agar bisa mengenali penyakit lebih cepat, sehingga mencegah kerusakan yang lebih luas. 

Di tangan Eprisa, ponsel bisa jadi “dokter tanaman” digital, meminimalkan kesalahan diagnosa manual, dan mendekatkan teknologi kepada petani kecil. Ide ini sangat brilian dan lahir dari hati dan jiwa yang luar biasa. 

Kalau kamu pikir predikat magna cum laude datang dengan mudah, mungkin kamu harus berpikir ulang. Karena faktanya, Eprisa memakai waktu kuliah empat tahun persis (tanpa molor) untuk menyelesaikan studinya. Di antara ujian, tugas, penelitian, dan aktivitas jiwa (melukis, merenung), ia bisa menyeimbangkan hidup yang bahkan bagi manusia-manusia pada umumnya mudah retak di mana-mana.

Nggak cuma tantangan fisik, ia juga harus bergulat dengan stigma dan tantangan psikologis. Tapi hebatnya, Eprisa punya keberanian untuk terbuka dan keyakinan bahwa keterbatasan fisik bukan pembatas mimpi. Jadi, meski dunianya sempat terasa berhenti, ia memilih untuk berusaha keras melangkah lagi. 

Terima kasih, Eprisa, karena kamu mengajari kita bahwa kursi roda tidak menghalangi langkah dan keberanianmu, serta keterbatasan tidak mematikan kreativitas. (RIW)

Bagikan :
Eprisa Nova Rahmawati, dari Kursi Roda ke Panggung Wisuda dan Pameran Lukisan

More Like This

Logo Heal

Kamu dapat menghubungi HEAL disini:

Heal Icon

0858-9125-3018

Heal Icon

heal@sahabatjiwa.com

Copyright © 2023 HEAL X  Sahabat Jiwa