Kita semua tahu, berita tentang bullying seakan nggak ada habisnya ya, HEALMates? Dari ejek-ejekan kecil yang dianggap “biasa aja”, sampai bentuk kekerasan yang bikin kita geleng-geleng kepala. Luka yang ditinggalkan pun kadang nggak kelihatan, tersimpan rapi dalam diam, tapi dampaknya bisa panjang banget.
Salah satu kasus yang bikin masyarakat terhenyak adalah insiden ledakan bom di SMAN 72 Jakarta. Berdasarkan pemberitaan Kompas.com, ada dugaan bahwa pelaku merupakan korban bullying. Kalau benar, ini bukan cuma tragedi tunggal, tapi alarm keras bahwa sistem perlindungan siswa kita masih punya celah besar.
Data nasional juga nggak kalah bikin khawatir. Catatan Kementerian PPPA menunjukkan laporan kekerasan anak terus meningkat. Selain itu, dari survei kesehatan mental remaja (I-NAMHS 2022), 1 dari 3 remaja Indonesia atau sekitar 15,5 juta anak mengalami gangguan mental. Namun, coba tebak berapa yang pernah mengakses layanan konseling? Hanya 2,6%.
Di tengah kondisi seperti ini, guru sebenarnya punya posisi strategis. Mereka orang pertama yang melihat perubahan sikap siswa, interaksi sosial, hingga tanda-tanda emosional yang nggak biasa. Tapi pertanyaannya, seberapa siap guru menghadapi kesehatan mental siswa yang makin kompleks?
Untuk menjawab itu, HEAL X Sahabat Jiwa melakukan survei kepada guru dari berbagai jenjang pendidikan di Indonesia. Hasilnya? Menarik, sekaligus membuka banyak hal penting yang mungkin selama ini luput dari perhatian. Yuk, kita simak dalam artikel berikut ini HEALMates!
Guru Sudah Peduli, Tapi Belum Merata
Hal pertama yang bikin lega adalah bahwa kesadaran guru terhadap pentingnya kesehatan mental sudah sangat tinggi. Ini bisa dilihat dari sebanyak 52,4% guru yang sangat setuju dan 37,5% setuju tentang menjaga kesehatan mental siswa yang jadi bagian penting dari tugas mereka.
Namun sayangnya, ketika masuk ke pemahaman teknis, angkanya justru mulai menurun.
- Sebanyak 50% guru merasa bisa membedakan perilaku normal dan yang butuh rujukan profesional, tapi hanya 25% yang benar-benar yakin.
- Sebanyak 20,8% masih “agak setuju” yang menjadi tanda bahwa banyak guru memang belum punya bekal pelatihan mental health.
Untuk kemampuan mengenali gejala ini mencakup gejala depresi, sebanyak 45,8% mengenali, 12,5% sangat mengenali, dan 8,3% belum mengenali sama sekali. Sementara itu, untuk gejala seperti kecemasan, sebanyak 29,2% sangat memahami, 33,2% memahami, dan 4,2% tidak memahami. Angka-angka ini menunjukkan bahwa pada kemampuan teknis ini, guru memang belum memiliki pemahaman yang cukup. Padahal depresi dan kecemasan adalah dua isu yang paling sering muncul di sekolah.
Sekolah Butuh Kurikulum Emosional, Bukan Hanya Akademik
Ketika ditanya apakah kurikulum sekolah perlu memasukkan materi kesehatan mental, guru menjawab lantang sangat setuju (37,5%) dan setuju (25%). Artinya, lebih dari sebagian besar guru setuju mengenai kebutuhan ini. Hal ini juga selaras dengan data survei bahwa kondisi mental siswa berpengaruh langsung pada prestasi akademik.
Tapi di sisi lain, dukungan sekolah dinilai belum terasa optimal. Banyak guru merasa sistem yang ada belum cukup memberi perlindungan emosional untuk siswa. Namun tetap ada hal positif bahwa saat siswa terlihat sedih atau cemas, guru sudah bisa menunjukkan tindakan empatik, seperti mengajak berbicara secara pribadi, menghubungi orang tua, memberi waktu istirahat, atau mengarahkan ke guru BK.
Artinya, secara emosional guru sudah punya niat baik untuk membantu, meski langkah yang dilakukan masih intuitif, bukan terstruktur. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang sudah menyediakan ruang aman di dalam kelas bagi siswa mereka.
Bullying Masalah Nyata yang Belum Terselesaikan
Kalau bicara soal bullying di sekolah, para guru ternyata punya pandangan yang cukup beragam. Ada yang merasa kasusnya tidak terlalu besar, ada yang menilai levelnya sedang, dan tidak sedikit yang menganggap masalah ini sudah cukup serius. Tapi satu hal yang relatif disepakati adalah bahwa pelaku paling sering justru teman sebaya sendiri. Interaksi senior–junior juga disebut ikut menyumbang, meski tidak sebesar dinamika antar teman sebaya.
Untuk jenis perilakunya, guru paling sering menemukan bullying verbal, mulai dari mengejek, meremehkan, sampai komentar-komentar yang sebenarnya “bercanda” tapi menyakitkan. Setelah itu, bentuk sosial seperti mengucilkan teman masih cukup sering muncul, diikuti fisik, dan sedikit kasus cyberbullying. Meskipun sebagian besar sekolah katanya sudah punya kebijakan anti-bullying, persepsi guru soal efektivitasnya masih terbelah. Ada yang merasa kebijakan itu berjalan baik, tapi ada juga yang menilai implementasinya belum benar-benar menyentuh akar masalah.
Siswa yang Tampak Baik-Baik Saja, Ternyata Menyimpan Luka
Bagian naratif dari survei ini justru jadi yang paling “menampar.” Di balik angka-angka, para guru menyimpan cerita nyata yang menunjukkan bagaimana tekanan sosial di sekolah bisa membentuk atau merusak kondisi mental siswa.
Salah satu guru menceritakan tentang seorang siswi yang selalu tampak pasif dan lebih sering menyendiri. Baru terungkap kemudian bahwa ia kerap dijadikan semacam “asisten pribadi” oleh teman-temannya. Disuruh ini-itu, dan kalau berani menolak, ia dicubit. Awalnya semua itu dianggap kenakalan kecil, sesuatu yang “biasa” terjadi di antara anak-anak. Tapi karena berlangsung terus-menerus, barulah guru menyadari ada pola yang tidak sehat dan melaporkannya ke kepala sekolah.
Kisah lain datang dari siswa yang sampai mogok sekolah karena tidak tahan terus-menerus diejek, atau anak yang berubah menjadi sangat pendiam setelah mengalami perundungan. Ada juga yang membawa tekanan rumah ke sekolah jadi mudah marah, mudah meledak, atau sebaliknya, menarik diri dari semua interaksi. Cerita-cerita seperti ini mengingatkan kita bahwa kesehatan mental siswa bukan sekadar grafik dan persentase. Ini tentang pengalaman hidup yang meninggalkan jejak emosional pada anak-anak yang sering kali mereka tanggung sendirian tanpa tahu harus meminta bantuan ke siapa.
Guru Mau Belajar, Sistem Perlu Berbenah
Di tengah berbagai temuan yang cukup mengkhawatirkan soal kesehatan mental siswa, ada satu hal yang justru memberi harapan besar. Hampir semua guru (96%) menyatakan siap ikut pelatihan kesehatan mental anak. Angka ini bukan sekadar statistik optimis, tapi sinyal kuat bahwa para guru sebenarnya ingin bergerak. Mereka bukan tidak peduli, bukan pula menolak perubahan. Namun, mereka hanya butuh sistem yang benar-benar mendukung langkah mereka.
Dari survei ini, beberapa saran yang muncul terasa sangat realistis dan membumi karena datang langsung dari lapangan. Guru ingin pelatihan yang nyata, bukan sekadar seminar sehari yang materinya hilang tertiup angin. Mereka butuh program berkelanjutan, terstruktur, yang betul-betul memberi kemampuan untuk membaca situasi emosional siswa dengan lebih tepat.
Peran guru BK juga menjadi sorotan. Banyak guru merasa konselor sekolah seharusnya punya posisi strategis, bukan hanya “petugas ruangan BK”. Rasio guru BK yang ideal dan job description yang lebih jelas diperlukan agar mereka bisa benar-benar menjadi pusat dukungan emosional di sekolah, bukan sekadar tempat “mengadili” siswa bermasalah.
Soal anti-bullying, para guru tampaknya sepakat bahwa kebijakan yang ada masih terlalu simbolis. Poster-poster larangan tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah SOP yang jelas, bagaimana kasus dilaporkan, siapa yang menangani, bagaimana investigasi dilakukan, dan bagaimana melindungi korban tanpa membuatnya tambah tertekan. Sebab, tanpa alur yang konkret, kebijakan hanya akan berhenti sebagai wacana.
Ruang aman emosional juga muncul sebagai kebutuhan penting. Tidak harus ruangan khusus. Yang dibutuhkan adalah suasana kelas yang membuat siswa merasa boleh jujur, boleh lelah, boleh takut, dan tidak harus selalu tampil “baik-baik saja”. Kelas yang sehat secara emosional membuat siswa jauh lebih mudah membuka diri ketika sedang terpuruk.
Lalu, yang tidak kalah penting adalah hubungan sekolah dan orang tua harus berubah menjadi kemitraan yang lebih hangat. Pertemuan wali murid seharusnya tidak hanya soal raport, nilai, dan target akademik. Guru berharap orang tua juga diajak ngobrol soal emosi anak, perilaku yang berubah, atau tekanan yang mungkin sedang ditanggung di rumah.
Pada akhirnya, semua rekomendasi ini menggambarkan hal yang sama, yakni bahwa guru siap maju, tetapi sistemnya harus ikut bergerak. Mereka menginginkan sekolah yang bukan hanya tempat belajar, tapi juga tempat anak-anak bertumbuh secara emosional. Mungkin dari sinilah perubahan itu bisa dimulai, dari kesadaran bahwa pendidikan bukan cuma soal pengetahuan, tetapi juga soal keselamatan jiwa dan mental siswa yang mempercayakan harinya pada sekolah setiap pagi. Apakah HEALMates setuju? (RIW)

