HEALMates, pernah nggak tiba-tiba kaget ketika anak berkata, “Aku kok hitam ya?” atau “Aku mau kurus kayak dia…’?” Kalimat sederhana seperti itu sering muncul tanpa kita sadari. Anak bisa mendengar komentar dari sekolah, tontonan, obrolan keluarga, atau perbandingan kecil antarteman, lalu menyimpannya dalam hati. Yang bikin miris, standar kecantikan hari ini bukan cuma berat untuk orang dewasa, tapi juga sudah menghimpit anak. Karena itulah penting mengenalkan body positivity sejak usia dini.
Body positivity yaitu cara pandang yang mengajak anak untuk menerima dan menghargai tubuhnya sendiri, apa adanya, tanpa harus membandingkan diri dengan orang lain. Singkatnya, body positivity itu tentang merasa nyaman dan percaya diri dengan bentuk tubuh, warna kulit, cara berpakaian, dan keunikan diri masing-masing. Tujuannya supaya anak belajar menghargai tubuh sendiri, tubuh orang lain, dan semua bentuk keberagaman. Ketika konsep ini ditanamkan sejak awal, anak tumbuh dengan mental yang lebih kuat, tidak mudah membandingkan diri, dan punya empati lebih besar terhadap teman-temannya. Yuk kita bahas cara mengajarkan body positivity pelan-pelan, HEALMates.
1. Semua Berawal dari Rumah
Rumah adalah tempat cerita pertama terbentuk. Sebelum anak mengerti makna kata kurus, gendut, atau gelap mereka sudah menangkap reaksi kita ketika membahas tubuh. Banyak orang tua tidak sadar bahwa keluhan kecil bisa tertanam kuat di benak anak. Contohnya seperti mengomel tentang perut buncit, mengomentari kulit anak yang makin gelap karena bermain, atau memuji sepupu lain karena kulitnya lebih cerah.
Anak tumbuh dengan cerminan dari apa yang mereka lihat. Kalau setiap hari yang terdengar adalah kritik pada tubuh, maka mereka pun belajar melakukan hal yang sama pada diri sendiri. Padahal, perubahan tubuh adalah bagian dari tumbuh kembang. Maka penting bagi kita mengganti narasi negatif menjadi lebih netral dan sehat. Misalnya dengan menunjukkan bahwa tubuh bisa berubah dan itu normal, atau mengajarkan rasa syukur pada tubuh kita sendiri supaya anak melihat contoh baik. Perubahan terbesar sebenarnya bukan pada anak, tetapi pada pola komunikasi di dalam rumah. Saat rumah memberi ruang untuk bahasa yang lembut, anak akan tumbuh dengan citra tubuh yang lebih positif.
2. Kenalkan Anak pada Keberagaman Tubuh Sejak Dini
Anak perlu memahami bahwa tubuh manusia hadir dalam banyak bentuk. Dunia kita penuh warna, dan kecantikan tidak punya satu yang pasti. Ada kulit putih, sawo matang, gelap, coklat tapi semuanya itu cantik. Ada tubuh tinggi, pendek, kurus, berisi yang kuat dengan caranya sendiri. Rambut lurus, keriting, ikal pun indah dengan pesona masing-masing.
Mengajarkan keberagaman tidak harus rumit. Percakapan sederhana tentang apa yang anak sukai dari tubuhnya sudah cukup untuk mengasah cara pandangnya. Kita bisa mengajak anak menyebut tiga hal yang mereka sukai dari tubuh hari ini. Fokusnya bukan tentang bentuknya, tapi tentang apa yang tubuhnya bisa lakukan. pertanyaan ini membantu mereka melihat tubuh sebagai alat untuk tumbuh, bukan sebagai objek perbandingan.
Cerita bergambar, film anak, dan buku dengan karakter beragam juga bisa jadi jembatan. Ketika anak terbiasa melihat perbedaan sebagai hal wajar, mereka pun menjadi pribadi yang lebih inklusif, tidak mudah merendahkan, dan tidak cepat minder ketika melihat orang lain.
3. Gunakan Bahasa yang Sehat dan Jauhkan Kebiasaan Membandingkan
Bahasa yang anak dengar akan menjadi bahasa yang mereka pakai. Karena itu, penting menghindari komentar seperti “kok gendutan?”, “dia pendek banget”, atau “kulitnya hitam”. Kecil bagi kita, tetapi menusuk bagi anak. Kalimat seperti itu membuat mereka merasa tubuh hanya sesuatu untuk dikomentari, bukan dihargai.
Bahasa yang sehat justru menguatkan. Misalnya dengan mengatakan “kita tidak mengomentari tubuh orang lain,” atau “kulit seseorang bukan ukuran baik atau buruk.” Ajarkan pula batasan sederhana seperti larangan membicarakan tubuh orang lain tanpa izin. Kebiasaan kecil ini dapat mencegah perundungan sejak dini. Selain itu, hindari pujian yang hanya fokus pada penampilan. Kalau setiap hari anak hanya dipuji karena cantik atau ganteng,mereka bisa merasa bahwa nilai diri mereka ada pada tampilan luar. Lebih baik fokus pada hal lain: energi positifnya, ketekunannya, keberaniannya, atau sikapnya. Pujian seperti itu lebih menumbuhkan rasa percaya diri yang stabil dan sehat.
Membandingkan anak dengan saudara atau teman lain juga harus dihentikan. Kalimat seperti “lihatlah sepupumu, dia lebih tinggi” atau “kok kamu nggak putih seperti adikmu?” sangat bisa membentuk luka psikologis jangka panjang. Mental anak akan jauh lebih bebas jika rumah tidak lagi jadi tempat perbandingan.
4. Jadikan Rumah Ruang Aman bagi Anak Mencintai Tubuhnya
Body positivity bisa membangun budaya sehari-hari yang aman dan penuh penerimaan. Rumah harus menjadi tempat anak merasa bebas dari body-shaming, bebas dari komentar penampilan, dan bebas dari standar kecantikan yang menekan. Berikan anak kesempatan memilih pakaian sendiri berdasarkan warna, bahan, dan model yang membuatnya nyaman. Fokuskan juga pada fungsi tubuh, bukan bentuknya. Dengan mengatakan, “kaki kamu kuat ya bisa lari cepat,” atau “tanganmu pintar menggambar”. Kalimat-kalimat itu akan membuat anak belajar bahwa tubuh mereka berguna, bukan sekadar dinilai dari penampilan.
Rumah yang menerima perubahan tubuh, memberi afirmasi positif, dan tidak mengomentari bentuk tubuh akan menjadi tempat terbaik untuk anak membangun relasi sehat dengan dirinya sendiri. Dari situlah fondasi mental anak tumbuh dengan lembut, stabil, dan penuh penghargaan terhadap perbedaan.
Mengajarkan body positivity berarti menanamkan nilai bahwa setiap tubuh layak dihargai. Kita sedang membangun generasi yang lebih kuat mentalnya, yang tidak mudah merendahkan orang lain, tidak terhimpit standar kecantikan, dan percaya diri dengan identitasnya sendiri. Dan semua itu dimulai dari rumah, dari percakapan kecil, dari cara kita memperlakukan tubuh kita dan mereka setiap hari.


