Pernahkah HEALMates lihat anak atau remaja yang bisa scroll TikTok berjam-jam tanpa kedip? Atau mereka tertawa melihat video random yang bahkan kamu sendiri nggak ngerti lucunya di mana? Kalau iya, artinya kamu mungkin sedang menyaksikan salah satu fenomena digital paling populer belakangan ini, yep brain rot!
Istilah ini viral di media sosial karena menggambarkan kondisi ketika seseorang terlalu banyak mengonsumsi konten digital yang kurang mendidik, repetitif, dan cepat, sampai memengaruhi cara berpikir serta fokus mereka. Sayangnya, anak adalah kelompok yang paling rentan.
Jadi, yuk kita bahas lebih dalam tentang fenomena brain rot, kenapa ini mengancam kesehatan mental dan perkembangan anak, dan apa yang bisa dilakukan orang tua untuk mencegahnya!
Apa Itu Brain Rot?
For your information HEALMates! Brain rot bukan istilah medis, tapi istilah budaya internet untuk menggambarkan penurunan kualitas perhatian, konsentrasi, dan fungsi berpikir karena terlalu sering mengonsumsi konten digital yang dangkal, impulsif, dan berulang. Seperti kita ketahui, sekarang ada banyak konten digital yang sering kali nggak jelas maksudnya apa, mulai dari animasi random seperti tung tung sahur sampai berbagai video pendek yang kurang memiliki isi.
Bayangkan saja, otak terus “dimanjakan” dengan video pendek yang lucu, absurd, atau benar-benar random. Konten seperti ini memicu dopamin cepat sehingga membuat otak ketagihan mencari stimulasi instan. Sayangnya, hasilnya justru tidak baik bagi perkembangan otak, seperti:
- perhatian jadi mudah teralihkan,
- susah fokus pada tugas yang lebih panjang,
- sulit berpikir mendalam,
- dan cenderung menghindari aktivitas yang butuh usaha mental.
Pada anak dan remaja yang otaknya masih berkembang, efeknya bisa jauh lebih besar.
Kenapa Anak Lebih Rentan Mengalami Brain Rot?
Otak anak dan remaja sebenarnya masih mematangkan bagian prefrontal cortex, yakni area yang mengatur fokus, kontrol diri, dan kemampuan merencanakan sesuatu. Karena itulah, ketika mereka terlalu sering terpapar konten cepat yang sangat menghibur, bagian otak ini seperti “tersaingi” oleh dorongan dopamin instan.
Sederhananya, otak mereka dilatih untuk menyukai hal-hal cepat sehingga sulit menikmati hal-hal yang butuh fokus seperti membaca buku, mendengarkan penjelasan guru, dan lain-lain.
Contoh Konten yang Sering Dikaitkan dengan Brain Rot
Tentu saja tidak semua konten digital buruk ya, HEALMates? Tapi, beberapa jenis konten memang lebih rentan memicu brain rot, misalnya:
- Video TikTok atau Reels berdurasi 3–6 detik yang super cepat dan tidak memiliki konteks.
- Meme absurd atau “humor sampah” yang lucunya cuma karena random dan berulang.
- Montage gaming yang sangat cepat dengan suara berisik, efek glitch, atau musik repetitif.
- Kompilasi video dengan editing over-stimulating, seperti flashing lights atau cut yang terlalu cepat.
- Konten scroll tanpa tujuan, di mana anak tidak benar-benar belajar apa pun.
Konten seperti ini memang menghibur dan “ringan”, tapi jika dikonsumsi terus-menerus, efek jangka panjangnya cukup serius.
Beberapa dampaknya pada perkembangan dan kesehatan mental anak, antara lain:
1. Rentang Perhatian Makin Pendek
Anak jadi sulit fokus lebih dari beberapa menit. Mereka terbiasa dengan dopamine burst dari video pendek, sehingga tugas sekolah terasa membosankan.
2. Penundaan (Prokrastinasi) Meningkat
Otak yang terbiasa hiburan instan akan menghindari aktivitas yang membutuhkan waktu lama.
3. Sulit Memproses Informasi Kompleks
Brain rot membuat proses berpikir kritis menurun. Anak jadi gampang terdistraksi dan sulit memahami materi pelajaran.
4. Overstimulasi dan Kecemasan Meningkat
Gempuran konten cepat bisa memicu overstimulasi yang membuat anak lebih mudah gelisah, sensitif, dan meledak secara emosional.
5. Ketergantungan pada Media Sosial
Setiap kali bosan sedikit saja, anak langsung cari hiburan instan. Ini bisa berkembang menjadi addictive scrolling.
6. Penurunan Kreativitas
Dengan konsumsi konten pasif yang terus-menerus, ruang untuk imajinasi dan eksplorasi makin sempit.
Mengapa Orang Tua Perlu Peduli?
Brain rot bukan cuma soal “anak nonton video aneh” ya, HEALMates. Lebih dari itu, ini jadi fenomena yang diam-diam dapat mengganggu perkembangan otak, memengaruhi prestasi sekolah, merusak regulasi emosi, dan membentuk kebiasaan digital yang tidak sehat hingga dewasa.
Dengan media sosial yang makin intens dan algoritma yang makin pintar, anak-anak bisa tenggelam dalam dunia digital tanpa sadar. Kalau dibiarkan terlalu lama, efeknya bisa menetap sampai dewasa.
Nah, sebagai orang tua tugas kita adalah terus mendampingi dan membersamai anak-anak kita agar tidak terlalu terikat pada konten digital. Ada baiknya untuk membatasi screen time dengan hal yang realistis. Bukan melarang total, tapi membuat batas yang konsisten.
Selain itu, kita juga perlu mengarahkan anak agar lebih banyak mengonsumsi konten yang edukatif dan menekankan mindful scrolling. Bantu anak menyadari kapan ketika mereka mulai tenggelam dalam konten yang tidak sehat sehingga mereka bisa cepat menggantinya dengan konten yang lebih edukatif. (RIW)

