HEAL Mates, pernah nggak sih kalian bertanya-tanya, kenapa hampir semua anak di Indonesia harus memakai seragam ke sekolah? Padahal kalau kita lihat di Finlandia, Jerman sampai Amerika Serikat anak-anak bebas memakai baju apa pun yang mereka mau. Nggak ada seragam dengan warna wajib, nggak ada sepatu hitam, apalagi aturan panjang rok dan kaos kaki.
Sementara di Indonesia?
Seragam itu hampir seperti ritual nasional. Mulai dari hari Senin sampai Jumat selalu ada aturan seragam. Setiap tahun ajaran baru, toko seragam selalu penuh sesak oleh orang tua yang sedang berburu ukuran baju yang pas.
Kalau ditarik ke belakang, pemakaian seragam memiliki sejarah panjang. Seragam pertama kali dipakai di Inggris pada abad ke-16, terutama oleh sekolah-sekolah amal untuk menyamakan status sosial. Tujuannya supaya anak-anak dari keluarga kurang mampu tidak terlihat sangat berbeda dengan yang lebih mampu. Dari sini, banyak negara kolonial mengikuti ide tersebut. Indonesia, sebagai negara yang lama berada di bawah pengaruh Barat dan Jepang, ikut mewarisi tradisi seragam sebagai bagian dari budaya pendidikan.
Namun kini, ketika dunia pendidikan bergerak ke arah yang lebih fleksibel, banyak negara mulai melepas seragam sebagai aturan sekolah. Muncul banyak pendapat terkait pengaruh seragam. Kemudian, yang lebih menarik dan yang menjadi fokus pembahasan kita yaitu:
Apakah seragam punya efek psikologis pada anak?
Apakah benar seragam bisa membuat mereka lebih disiplin, lebih fokus, atau justru sebaliknya?
Yuk, kita bahas pelan-pelan HEALMates.
Seragam sebagai Simbol Rapi di Luar
Seragam selama ini identik dengan kata rapi, disiplin, dan setara. Ketika seluruh kelas memakai pakaian yang sama, suasananya terlihat seragam dan tidak ada yang menonjol secara ekonomi. Tapi apa seragam otomatis membuat anak lebih fokus atau lebih bahagia?
Beberapa riset internasional memberikan gambaran yang cukup mengejutkan. Sebuah penelitian besar dari Ohio State University yang melibatkan lebih dari 6.000 siswa sekolah dasar menemukan bahwa seragam tidak meningkatkan prestasi. Seragam tidak membuat anak lebih fokus. Seragam juga tidak memperbaiki perilaku mereka di sekolah. Yang paling menarik justru anak-anak yang memakai seragam malah memiliki sense of belonging atau rasa terhubung dengan sekolah yang lebih rendah dibanding anak tanpa seragam.Â
Penelitian lain dari Australia menggarisbawahi masalah kenyamanan fisik, terutama pada anak perempuan. Rok formal yang menjadi ciri khas seragam tradisional membuat anak perempuan bergerak lebih sedikit saat istirahat. Mereka jadi enggan berlari, memanjat, atau bermain aktif. Ketika tubuh dibatasi, suasana hati otomatis ikut terpengaruh. Nah, kondisi fisik seperti gerak yang terbatas, seragam panas, atau bahan yang gatal, bisa menurunkan kenyamanan, yang akhirnya mempengaruhi konsentrasi dan motivasi belajar.
Kesetaraan atau Sumber Tekanan Baru?
Kalau bicara konteks Indonesia, situasinya lebih kompleks. Banyak orang tua dan guru percaya bahwa seragam menjaga kesetaraan. Anak-anak dari keluarga sederhana tidak akan terlalu terlihat berbeda dengan anak yang mampu secara ekonomi. Seragam juga dianggap memudahkan orang tua karena tidak perlu memikirkan baju apa setiap pagi.
Namun, dari perspektif anak, cerita yang muncul bisa berbeda. Beberapa siswa mengungkapkan bahwa seragam sering terasa panas, ketat, atau kaku. Bahan tertentu membuat kulit gatal. Ada yang minder karena seragamnya sudah pudar, kebesaran, atau turun-temurun dari kakaknya. Ada pula yang stres karena takut dimarahi hanya karena kaos kaki sedikit berbeda warna. Aturan seragam kadang terlalu ketat dan mengekang. Di balik keseragaman itu, ada perasaan-perasaan kecil yang mungkin luput dari perhatian orang dewasa.
Dalam psikologi, ekspresi diri lewat pakaian merupakan bagian awal dari pembentukan identitas. Ketika anak benar-benar tidak punya pilihan, mereka bisa merasa tidak punya kendali atas tubuh dan dirinya. Hal kecil seperti ini, jika berlangsung bertahun-tahun, dapat berpengaruh pada harga diri dan kepercayaan diri. Artinya, seragam tidak selalu negatif, tapi juga tidak selalu positif.
Apa Kata Psikolog?
Beberapa psikolog pendidikan sepakat bahwa seragam memang punya manfaat, asalkan diterapkan di lingkungan sekolah yang hangat dan suportif. Seragam bisa mengurangi stres anak di pagi hari karena mereka tidak perlu bingung memilih baju. Selain itu, seragam juga mengurangi persaingan gengsi soal pakaian siapa yang paling keren atau paling mahal.
Dalam psikologi, ada konsep enclothed cognition, yaitu gagasan bahwa pakaian yang kita kenakan bisa mempengaruhi cara kita berpikir. Dengan memakai seragam, anak jadi lebih mudah masuk mode belajar, lebih fokus, dan merasa bagian dari komunitas sekolah. Pendapat ini sejalan dengan temuan Arief Rahman Nur Fadhilah (Magister Psikologi Unair, 2024) yang menyebut bahwa seragam membantu menghapus kesenjangan sosial, menciptakan rasa setara, dan memberi identitas sosial yang kuat pada siswa. HEALMates, ini penting banget lho untuk kesehatan mental mereka.
Tapi para psikolog juga mengingatkan bahwa seragam bisa berdampak buruk. Kok bisa?
Ya tentu bisa terjadi jika aturan dipakai terlalu kaku atau dijadikan alat menghukum. Misalnya, menegur anak di depan kelas karena atribut kurang lengkap, mempermalukan mereka, atau memaksa anak mengikuti aturan tanpa mempertimbangkan kondisi keluarganya. Efeknya bisa berat seperti anak yang merasa minder, cemas, sampai kehilangan motivasi belajar. Artinya, disiplin memang perlu, tapi jangan sampai menghapus empati. Aturan seragam yang baik juga menjaga perasaan dan martabat anak.
Pandangan Guru tentang Efek Seragam
Dari hasil wawancara dengan Pak Royanto salah satu guru sekolah dasar, banyak cerita yang membuka mata kita. Guru mengatakan bahwa seragam memang berpengaruh pada rasa percaya diri anak, tapi pengaruhnya tidak sebesar situasi rumah atau kondisi emosional mereka di pagi hari. Menariknya, guru melihat pola unik. Anak-anak cenderung lebih percaya diri dan lebih aktif pada hari memakai seragam olahraga. Alasannya karena lebih nyaman bergerak. Seragam olahraga terasa lebih ringan dan fleksibel, sehingga mereka bisa melompat, berlari, atau duduk bersila tanpa takut seragamnya melorot atau robek.
Ada tantangan besar terkait faktor ekonomi. Guru sering menemukan anak yang tidak percaya diri karena seragam mereka kusam, robek sedikit, atau kebesaran. Setelah diejek teman-temannya, anak itu langsung menunduk sepanjang hari dan enggan ikut pelajaran. Guru berusaha menenangkan, memberi pemahaman pada seluruh kelas, dan mengingatkan bahwa baju tidak menentukan nilai diri seseorang. Tapi tetap saja, rasa minder pada anak adalah hal nyata yang terjadi di sekolah.
Masalah lain muncul saat sekolah meminta baju tema di luar seragam sekolah. Misalnya menjelang Ramadan, sekolah meminta anak memakai baju muslim berwarna putih atau warna hijab tertentu. Di kelas, beberapa anak datang dengan baju seadanya, sementara yang lainnya memakai baju serasi sesuai tema. Anak yang pakai baju seadanya sering terlihat gelisah atau menarik diri karena merasa berbeda. Orang tua pun mengeluh harus meminjam baju ke tetangga atau membeli baru. Berdasarkan kasus tadi, adanya seragam sekolah jelas lebih memudahkan orang tua dari berbagai tingkat ekonomi.Â
Guru mengatakan bahwa kegiatan bertema sebenarnya bagus, tapi harus mempertimbangkan keberagaman kemampuan ekonomi. Tidak semua keluarga siap mengeluarkan biaya ekstra. Guru kemudian menyampaikan harapan untuk aturan seragam. Seharusnya seragam sekolah bisa lebih fleksibel, ramah bagi semua kalangan, serta disertai edukasi bahwa harga diri anak tidak diukur dari baju.
Lalu, Harus Seragam atau Tidak?
Setelah membaca seluruh riset dan mendengar cerita dari lapangan, kita bisa menyimpulkan satu hal penting bahwa seragam bisa membawa kebaikan, tapi juga bisa membawa tekanan. Semuanya tergantung bagaimana sekolah mengelolanya. Seragam bisa membantu anak merasa setara. Tapi jika terlalu kaku, seragam juga bisa membatasi ekspresi diri dan menurunkan kenyamanan. Seragam bisa mencegah persaingan gaya berpakaian, tapi bisa pula menjadi sumber stres jika anak tidak mampu memenuhi aturan. Pada akhirnya, seragam hanyalah kain. Justru yang benar-benar penting adalah perasaan anak ketika mengenakannya. Apakah mereka merasa diterima? Apakah mereka merasa aman untuk belajar? Atau justru terbebani dengan aturan yang terlalu menekan?
Seragam bisa membantu menciptakan rasa setara, bisa memudahkan pagi hari, bisa membuat suasana sekolah terasa rapi. Tapi kesejahteraan anak tidak pernah tumbuh dari pakaian yang sama, melainkan dari lingkungan yang membuat mereka merasa dihargai, didengarkan, dan diperlakukan dengan manusiawi. Sebagus apapun seragamnya, anak akan berkembang dengan baik ketika sekolah dan orang dewasa di sekelilingnya memberi ruang untuk bernapas, memberi empati, dan menguatkan perasaan bahwa mereka layak diterima apa adanya.Â


