Logo Heal

ART, MONEY & TECHNOLOGY

Art, Money & Technology

Pekerja Kreatif dan Freelance Masih Dipandang Sebelah Mata, Benarkah?

Pekerja Kreatif dan Freelance Masih Dipandang Sebelah Mata, Benarkah?

Oleh :

“Halah, freelance doang.”

Pernah denger kalimat ini, HEALMates? Kalau pernah, berarti kamu sudah menyaksikan bentuk pengerdilan pekerjaan yang paling lazim di era gig economy saat ini. Ironisnya, di saat gig economy tumbuh pesat dan platform seperti Upwork, Fiverr, serta Freelancer.com jadi sumber rezeki jutaan orang, pekerja kreatif dan freelance masih sering dianggap sebelah mata. Padahal, di balik laptop, kafe, atau kamar kos tempat mereka berkarya, ada gelombang mental load yang nggak kalah berat dari kerja kantoran.

Buat banyak pekerja kreatif, seperti content writer, copywriter, ilustrator digital, editor video, desainer grafis, sampai fotografer komersial, freelance bukan cuma perkara “kerja fleksibel”. Lebih dari itu, ini juga jadi cara hidup “The way of life”. Ini bisa jadi sumber pendapatan, biaya listrik, kuota internet, cicilan alat, dan kebutuhan lainnya. Tapi entah kenapa, ketika kerja nggak dilakukan di gedung ber-AC atau nggak dibayar setiap tanggal 25, statusnya otomatis turun jadi “bukan kerjaan yang serius”.

Freelance Kerja Tanpa proteksi

Pada banyak kasus, bekerja secara freelance lekat dengan kondisi bekerja tanpa batas waktu, tapa proteksi, bahkan tanpa apresiasi. Seorang pekerja freelance mungkin bisa mengerjakan 6 klien dari 3 negara sekaligus, menjaga tone brand yang beda-beda, sambil muter otak untuk schedule meeting di 4 zona waktu. Mereka multitasking, tapi untuk hal yang kompleks, bukan sepele. Di situlah mental load mereka bersarang.

Mental load pada pekerja freelance bukan sekadar lelah. Ini soal negosiasi tarif yang bikin deg-degan, ketidakpastian proyek next month, kontrak yang kadang tidak fair, hingga budaya “revisi tanpa henti” yang tidak berbayar. Ironisnya, banyak klien yang nggak ragu minta lembur dadakan, tapi ragu bayar sesuai effort karena: “Kan kamu kerjanya dari rumah?”

Padahal, deklarasi dari United Nations lewat Universal Declaration of Human Rights menegaskan hak atas pekerjaan yang layak. Lalu, kenapa pekerja yang menciptakan nilai ekonomi lewat kreativitas malah digaji murah hingga di bawah standar hidup layak? Di sinilah isu harga diri freelance berubah jadi isu martabat manusia.

Tarif Rendah dan Eksploitasi Pekerja Kreatif 

Eksploitasi tarif pada pekerja freelance dan pekerja kreatif bukan lagi isu personal, tapi isu struktural. Mereka sering dipaksa menerima bayaran rendah karena relasi kuasa yang timpang, seperti supply tenaga kerja kreatif banyak, demand klien tinggi, hingga proteksi kebijakan minim. Ujung-ujungnya apa HEALMates? Freelance masuk kategori pekerja paling rentan dieksploitasi dalam ekosistem kerja modern.

Padahal, kalau  kita pahami lagi, sektor kreatif adalah ekonomi ide yang outputnya tidak bisa dihitung per jam. Satu konsep campaign bisa lahir dari 3 hari mikir. Satu storyboard animasi bisa jadi hasil dari mikir selama 2 minggu begadang. Tapi, karena produknya “nggak kelihatan prosesnya,” yang dihargai cuma file finalnya. Lebih parah lagi, ini sering terjadi tanpa kontrak jelas, tanpa jaminan sosial, dan tanpa payung hukum yang tegas.

Padahal, International Covenant menegaskan hak setiap orang atas kondisi kerja adil dan upah layak. Kalau upah layak adalah hak asasi, maka praktik membayar pekerja kreatif jauh di bawah nilai karyanya adalah pelanggaran HAM dalam format baru, silent violation. Halus, ternormalisasi, tapi melukai.

Freelancer Juga Berhak Hidup Layak

Freelancer bukan kumpulan anak muda yang “cuma mau kerja santai karena nggak kuat disiplin kantor”. Justru banyak dari mereka yang memilih freelance karena ekonomi makin keras, ruang kerja makin kompetitif, dan kreativitas mereka butuh rumah yang lebih luas dari sekadar kubikel.

Mereka bukan anti-rules dan tidak meminta diistimewakan. Hanya saja, mereka juga berhak dihormati sebagai pekerja dengan hak yang sama untuk menolak eksploitasi, hak untuk dibayar layak, dan hak untuk tidak dianggap “bukan kerjaan”.

Jadi, setuju nggak HEALMates bahwa sekarang saatnya ganti perspektif bahwa freelance bukan hanya soal fleksibilitas, tapi soal kemanusiaan?

Freelance bukan alternatif kelas dua. Pekerjaan ini juga merupakan pekerjaan yang menopang perputaran ekonomi kreatif global. Jika pekerja freelance digaji layak, bukan karena “baik hati”, tetapi karena mereka memang berhak mendapatkannya sebagai manusia, pekerja, dan pencipta nilai. (RIW)

Bagikan :
Pekerja Kreatif dan Freelance Masih Dipandang Sebelah Mata, Benarkah?

More Like This

Logo Heal

Kamu dapat menghubungi HEAL disini:

Heal Icon

0858-9125-3018

Heal Icon

00 31 (0) 6 45 29 29 12

Heal Icon

heal@sahabatjiwa.com

Copyright © 2023 HEAL X  Sahabat Jiwa