HEALMates, pernahkah kamu merasa ingin memperbaiki diri setelah mengalami luka batin? entah karena patah hati, kegagalan, atau kehilangan?
Kebanyakan dari kita memulainya dari yang terlihat dari luar, seperti: potong rambut, beli skincare baru, atau ganti gaya berpakaian. Rasanya seperti versi baru dari diri yang lebih kuat dan cantik. Tapi, tahukah kamu, healing sejati tidak berhenti di tampilan luar?
Proses pemulihan yang benar-benar utuh mencakup tiga aspek besar: Beauty (penampilan luar), Brain (pikiran dan wawasan), serta Behavior (perilaku dan kebiasaan hidup). Ketiganya saling melengkapi, membentuk pondasi perbaikan diri yang lebih stabil dan tahan banting. Mari kita bahas satu persatu.
Beauty: Menyembuhkan Diri Lewat Perawatan dan Estetika
Bukan rahasia lagi, tampil rapi dan merawat diri bisa meningkatkan kepercayaan diri. Studi yang diterbitkan oleh Psychology of Aesthetics, Creativity, and the Arts (2017) menemukan bahwa aktivitas perawatan diri seperti skincare, berdandan, atau berpakaian sesuai kepribadian dapat mempengaruhi suasana hati secara positif dan meningkatkan persepsi self-worth (penghargaan terhadap diri). Namun, HEALMates, penting diingat: self-care bukan sekadar mempercantik wajah, tapi merawat perasaan.
Merias diri seharusnya menjadi bentuk cinta, bukan pelarian. Misalnya, ketika kamu berdandan pagi hari, lihat dirimu di cermin sambil berkata:
“Aku layak merasa baik hari ini.”
Kalimat sederhana itu membantu otak membentuk asosiasi positif terhadap diri sendiri.
Psikolog klinis Dr. Ann Kearney-Cooke, dalam penelitiannya tentang body image resilience, menjelaskan bahwa perempuan yang melihat rutinitas merawat diri sebagai ritual penghormatan terhadap tubuh cenderung lebih stabil secara emosional dibanding yang melakukannya demi pujian orang lain. Jadi, ibaratnya beauty adalah pintu masuk. Namun, untuk benar-benar pulih, kita perlu masuk lebih dalam . Terutama ke ranah pikiran dan cara berpikir.
Brain: Menata Pola Pikir agar Luka Tidak Berulang
Setelah tampilan luar membaik, langkah berikutnya adalah menata pikiran dan keyakinan yang membentuk cara kita menilai diri sendiri. Menurut Dr. Carol Dweck (Stanford University),orang yang memandang diri dan kehidupannya sebagai sesuatu yang bisa berkembang akan lebih cepat bangkit dari kegagalan atau trauma. Saat kamu terluka, otak sering kali membangun pola pikir negatif seperti “Aku tidak cukup baik” atau “Aku selalu gagal.” Di sinilah pentingnya mengubah cara pandang terhadap pengalaman buruk menjadi pelajaran hidup.
Coba tanyakan pada dirimu:
“Apa yang bisa aku pelajari dari pengalaman ini?”
“Bagaimana aku bisa memperlakukan diriku dengan lebih lembut ke depannya?”
Penelitian oleh University of Pennsylvania juga menemukan bahwa positive psychology interventions berperan untuk menurunkan stress. Misalnya seperti menulis jurnal syukur, refleksi diri, atau mindfulness. Hasilnya mampu menurunkan tingkat stres dan depresi hingga 30%. Artinya, memperbaiki cara berpikir bukan hanya menenangkan emosi, tapi juga melatih otak agar lebih tangguh terhadap luka berikutnya.
HEALMates bisa memulai dengan langkah kecil, seperti: membaca buku psikologi populer, mendengarkan podcast reflektif, atau mengikuti terapi kognitif. Karena terkadang, healing yang kita butuhkan itu berupa pemahaman baru tentang siapa diri kita. Jadi kamu tidak perlu jauh-jauh melarikan diri.
Behavior: Ubah Luka Menjadi Pola Hidup yang Sehat
HEALMates, tahap terakhir dari pemulihan diri adalah behavior. Behavior ini berupa perubahan perilaku nyata. Karena tanpa tindakan, pikiran positif hanya berhenti di kepala. Menurut Albert Ellis, pencetus Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), perilaku adalah wujud dari keyakinan internal kita. Jika kamu mulai membangun kebiasaan sehat, itu tandanya kamu perlahan mempercayai bahwa dirimu layak bahagia.
Perubahan perilaku bisa dimulai dari hal-hal kecil, seperti:
- Membuat rutinitas pagi yang konsisten. misalnya bangun lebih awal, olahraga ringan, dan menulis tiga hal yang kamu syukuri.
- Menetapkan batas sehat (boundaries) dalam hubungan. Misalnya belajar berkata tidak ketika kamu merasa tidak nyaman.
- Berlatih hadir sepenuhnya (mindfulness). Misalnya sadar terhadap emosi tanpa menolak atau menutupi.
Sebuah riset dari Harvard Health Publishing Tahun 2021 menunjukkan bahwa praktik mindfulness secara rutin mampu meningkatkan fungsi regulasi emosi dan menurunkan stres kronis. Oleh karena itu, perilaku sadar seperti bernafas perlahan saat cemas, istirahat dari media sosial, atau sekadar jalan kaki tanpa ponsel, bisa menjadi bentuk terapi. Perubahan perilaku tidak selalu instan. Tapi setiap langkah kecil yang dilakukan dengan niat tulus adalah bagian dari perjalanan pulih yang sesungguhnya.
HEALMates, banyak orang gagal dalam proses pemulihan karena hanya fokus pada satu sisi saja. Misalnya, mempercantik diri tapi masih memelihara pikiran negatif, atau memahami teori healing tapi tak pernah mengubah kebiasaan. Konsep holistic healing mengajarkan bahwa tubuh, pikiran, dan perilaku bekerja sebagai satu sistem. Seperti tiga benang yang membentuk jalinan kuat. Jika salah satu longgar, jalinannya mudah lepas. Bayangkan kamu merawat kulit dengan penuh kasih (beauty), lalu memperkuat pikiran positif (brain), dan menerapkan rutinitas sehat (behavior). Dari situ kamu akan menjadi lebih baik, luar dan dalam.


