HEALMates Pernah gak sih melihat seseor
Rambutnya dipotong pendek, tubuhnya terlihat bugar, kulitnya bersinar, gaya berpakaian berubah total. Selain itu, dia juga mulai rajin berolahraga, merawat diri, bahkan tampil percaya diri di media sosial dengan senyum baru yang menawan. Fenomena itu kini akrab disebut “beauty revenge”, atau balas dendam lewat kecantikan. Upaya ini membuktikan bahwa luka bisa melahirkan versi diri yang lebih kuat dan memikat. Namun, di balik perubahan visual yang terlihat di permukaan, ada sesuatu yang lebih dalam.
Beauty revenge mungkin terlihat hanya sebagai usaha membuat mantan menyesal. Padahal, dalam prosesnya ada pencarian jati diri dan kendali diri setelah kehilangan. Karena bagi banyak orang, perubahan penampilan menjadi cara paling cepat untuk berkata pada diri sendiri bahwa dia masih bisa hidup dan mengendalikan dirinya.
Dari Luka ke Kendali Diri
Dalam psikologi, beauty revenge dikategorikan sebagai bentuk coping mechanism yaitu strategi emosional yang digunakan untuk mengatasi stres, kehilangan, atau trauma. Psikolog klinis Dr. Ramani Durvasula menjelaskan bahwa setelah mengalami pengkhianatan, seseorang sering kehilangan rasa percaya diri dan kontrol atas hidupnya. Maka, mengubah sesuatu yang terlihat seperti potongan rambut atau gaya berpakaian dapat memberi ilusi yang membantu pemulihan psikologis.
University of South Florida pada Tahun 2019, menemukan bahwa individu yang melakukan perawatan diri pasca putus cinta menunjukkan peningkatan kadar dopamin dan serotonin. Kedua hormon ini berperan dalam regulasi suasana hati dan motivasi. Dengan kata lain, tindakan sederhana seperti merawat kulit atau berganti gaya akan memberi sensasi bahagia karena dapat kembali mengendalikan tubuh dan hidupnya. Perubahan ini juga sering menjadi langkah awal menuju pemulihan harga diri. Ketika seseorang mulai memperhatikan penampilan mereka setelah krisis emosional, sebenarnya mereka sedang membangun ulang identitas diri bukan hanya validasi.
Beauty Revenge di Era Media Sosial
Fenomena beauty revenge kini semakin mencolok di era digital. Salah satu platform seperti X (dulu Twitter) dan Instagram. Muncul tren unggahan menampilkan dua foto. Foto pertama ketika seseorang tampak polos, kusut, atau kurang terawat. Kemudian disandingkan dengan foto terbaru yang sudah glow-up total. Di atas dua foto itu biasanya tertulis:
“If you don’t love me at my…” (di atas foto lama),
“then you don’t deserve me at my…” (di atas foto yang sudah glowup).
Tren ini sempat viral dan menjadi bentuk ekspresi diri yang unik. Sekilas tampak sebagai candaan visual, namun sebenarnya mencerminkan kebutuhan manusia untuk diakui setelah melewati masa sulit. Namun, para ahli mengingatkan agar transformasi semacam ini tidak menjadi jebakan. Menurut Dr. Jill Weber, psikolog klinis asal Washington D.C.,
“Ketika seseorang mengaitkan rasa berharga diri sepenuhnya dengan tampilan luar, mereka berisiko terjebak dalam loop of validation atau siklus mencari pembuktian tanpa akhir.”
Artinya, perubahan yang awalnya membuat kita bertumbuh justru bisa berubah menjadi alat menyakiti diri. Misalnya ketika kita sudah terlalu haus validasi. Maka, jika kita belum mendapat pujian kita akan merasakan sakit yang luar biasa.
Antara Healing dan Hiding
Saat menjalani fase beauty revenge, penting sekali untuk membedakan antara healing dan hiding. Healing adalah ketika seseorang berubah karena ingin menjadi lebih baik bagi dirinya sendiri. Hiding adalah ketika perubahan dilakukan semata-mata untuk membuktikan sesuatu. Misalnya ingin membuktikan diri kepada mantan, dunia, atau bahkan bayangan diri sendiri. tren beauty revenge dapat menjadi fase transisi emosional, di mana seseorang mencoba memulihkan kendali melalui tubuhnya. Tetapi, pemulihan sejati hanya terjadi ketika dia tidak memaksa untuk membuktikan tapi justru menerima dirinya di versi lebih baik. Dengan kata lain, beauty revenge bisa menjadi gerbang menuju self-love, asal dijalani dengan kesadaran, bukan dendam.
Ketika Balas Dendam Berubah Jadi Cinta Diri
Banyak perempuan yang mengaku bahwa perjalanan “balas dendam” lewat kecantikan lambat laun berubah menjadi proses mencintai diri sendiri. Awalnya ingin membuktikan sesuatu, namun seiring waktu mereka mulai menikmati rutinitas sehat: tidur cukup, makan lebih bergizi, merawat kulit, berolahraga, dan tersenyum lebih sering. Dari sana muncul kesadaran baru bahwa tubuh dan jiwa mereka layak dirawat bukan karena ada yang harus dikalahkan, tapi karena mereka pantas merasa utuh.
Peneliti self-compassion, Dr. Kristin Neff menegaskan bahwa pemulihan emosional tidak pernah datang dari perbandingan atau pembuktian, melainkan dari kasih sayang pada diri sendiri. Ketika seseorang berhenti berjuang untuk terlihat cukup di mata orang lain, ia akhirnya mulai merasa cukup di mata dirinya sendiri.
Maka, ketika kamu menatap cermin suatu pagi dengan rambut baru, kulit yang lebih cerah, atau tubuh yang lebih bugar. Ingatlah, perubahan itu bukan semata soal penampilan. Namun, simbol bahwa kamu berhasil melewati badai dan berdiri lagi dengan kepala tegak. Bukan untuk membuat siapa pun menyesal, tapi untuk membuktikan bahwa kamu bisa pulih, tumbuh, dan berbahagia tanpa perlu pembuktian apa pun.
HEALMates Reminder:
Pulih tidak selalu berarti sempurna. Kadang butuh tangisan di malam hari, kadang butuh lipstik merah dan outfit baru. Tapi ketika perubahanmu lahir dari kasih, bukan dari dendam. Itulah tanda kamu benar-benar sembuh.


