Logo Heal

ART, MONEY & TECHNOLOGY

Art, Money & Technology

Ibu dalam Kanvas Senja, Ketika Galeri Menjadi Wadah Cinta dan Rindu

Ibu dalam Kanvas Senja, Ketika Galeri Menjadi Wadah Cinta dan Rindu

Oleh :

Semarang, 4 Agustus 2025 lalu, di lorong-lorong rumah lama berwarna krem di Jalan MT Haryono No. 360, sebuah pintu kayu terbuka lebar menyambut pengunjung dengan aroma cat minyak dan wangi kertas. Rumah Mataram 360 yang biasanya sepi dan rindu sentuhan, pagi itu berubah menjadi sebuah ruang sakral, tempat karya dari Rahel Yosi Ritonga @therahelyosi dipamerkan dengan tajuk “Ibu: Cinta, Pengorbanan, Pengaruh dan Kehilangan”.

Pameran ini bukan sekadar pamer lukisan, kita seperti diajak untuk berziarah menyusuri kenangan bersama ibu. Tak hanya kanvas, Yosi juga menampilkan tulisan-tulisan menakjubkan tentang ibu, sekumpulan teks yang dahulu mengejutkan feed media sosial, kini diberi wujud fisik untuk disentuh, dibaca, dan diresapi ulang bersama pengunjung. Di sana kita bisa memasuki benak sang seniman dan apa yang ia rindukan. 

Pameran tunggal yang berlangsung hingga 18 Agustus 2025 itu telah berlalu. Tapi, makna dan kedalaman filosofisnya lekat hingga hari ini dan mungkin di masa yang akan datang nanti. Pameran ini tentu hanya satu dari banyaknya pameran yang bisa menggugah relung jiwa kita, ya HEALMates. 

Galeri sebagai Bahasa Cinta

Apa jadinya jika sebuah galeri tidak hanya menjadi ruang untuk melihat, melainkan ruang untuk mengirim pesan ke seseorang yang sudah pergi? Yosi dan banyak seniman lainnya tentu paham betul mengenai esensi ini. Barangkali inilah sebabnya, ia memilih untuk menjadikan galeri sebagai surat terbuka, medium untuk menyampaikan cinta, kehilangan, dan pengaruh seorang ibu lewat gambar dan kata.

Di sudut ruang pameran, sebuah lukisan dengan siluet ibu yang memayungi anaknya tersemat kata, “Ibu adalah garis pertama dalam peta jiwa kita.” Bila dulu ia mungkin tak pernah mengucapkannya secara langsung, di pameran ini, garis itu berbicara atas namanya. Seni rupa bagi Yosi bukan sekadar estetika. Lebih dari itu, seni ini seakan jadi medium yang punya kapasitas untuk “menyapa yang sunyi.” Ia memberi ruang yang aman bagi rindu, bagi tangis dan tanya. Dalam karya lukisannya, aroma warna pastel yang lembut, siluet-gelap yang memudar, dan ruang-ruang kosong yang sengaja dibiarkan. Ia seakan tengah memberi kita jeda, nafas, dan ruang untuk menerima kehilangan.

Sulit membedakan antara lukisan dan doa. Karena setiap sapuan kuasnya seolah menjadi nada lirih yang membisikkan suara, “Aku di sini mengenangmu, Ibu.” Dalam konteks ini, kita mungkin bisa memahami bahwa galeri bukan hanya kamar sunyi seniman, tetapi panggung kolektif untuk merawat memori bersama.

Dari Tulisan Viral ke Pasang Bingkai

Satu aspek menarik dalam pameran ini adalah penempatan tulisan-tulisan Yosi yang sebelumnya tersebar di media sosial sebagai bagian dari instalasi. Ia menyadari betul bahwa kata-kata yang viral itu telah mengikat banyak orang dalam pengalaman yang sama, rindu, konflik batin, bahkan rasa bersalah. Dengan membingkainya, Yosi menghadirkan kata menjadi ruang bernafas, bukan sekadar status singkat di feed.

Tulisan yang kadang juga berupa untaian syair, kadang monolog lirih seolah menjadi pintu bagi pengunjung untuk mengenang ibu mereka sendiri. Siapa pun yang membaca akan tergoda membuka lembaran memori, berdecak, dan mungkin menangis sendiri. Galeri kemudian menjadi medium dialog antara seniman dan dunia, antara setiap pengunjung dengan ibu mereka.

Konflik, Pengaruh, dan Kehilangan

Kalau ngomongin tema, Yosi sangat jeli dalam membuka pengalaman emosional banyak orang dengan ibu. Dalam tema “Ibu, Cinta, Pengorbanan, Pengaruh, dan Kehilangan”, Yosi memberikan lapisan konflik yang tertahan yang kerap dialami oleh anak dan ibunya. Perasaan sayang, senang, merasa bersalah, hingga mungkin sebuah cinta yang tak terucap dari sang anak kepada ibunya. 

Dalam salah satu karyanya, Yosi bahkan menggambarkan sosok ibu dengan bayangan samar di belakang sosok anak. Dari gambar ini, kita bisa melihat bagaimana pengaruh ibu mungkin tak selalu terlihat, namun terus membekas. Pengaruh seperti inilah yang sulit dijelaskan oleh setiap anak kepada ibunya. 

Ketika pintu galeri terbuka, siapa pun bisa masuk. Sebuah keputusan yang tak sekadar memberi akses, namun menjadikan pameran ini jadi milik publik, milik siapapun yang ingin mengenang ibu. Dalam konteks ini, galeri seni bukan sekadar panggung untuk “dipamerkan”, melainkan medium yang bagi siapa saja untuk kembali mencinta, merangkul luka, dan merawat memori dengan anak atau ibunya. 

Karya-karya dalam pameran ini lahir dari sesuatu yang tidak selalu indah, tapi justru paling manusiawi, pengalaman menjadi ibu, kenangan pada ibu, dan luka-luka yang ditinggalkan dunia, terutama dunia yang sering terlalu keras pada perempuan. Ada guratan tentang cinta, tapi juga ada sisa air mata yang kering di pinggiran kanvas. Tapi tenang, Rahel Yosi Ritonga tidak sedang berkhotbah. Ia tidak datang untuk menggurui siapa pun. Ia hanya ingin duduk bareng, menatap luka itu, dan bilang, “Yuk, kita renungi bareng-bareng.”

Ia tidak bersembunyi di balik estetika, ia datang apa adanya, dengan keberanian, dengan gentar, dengan semua hal yang membuat perempuan sering salah paham terhadap dirinya sendiri. Sebagai ibu, seniman, dan influencer, Yosi seperti punya radar perasaan yang sensitif tapi menenangkan. Ia bisa menggambarkan hal-hal yang personal, tapi entah bagaimana, kita merasa sedang ikut diceritakan di situ.

Dalam sesi pembukaan, ia secara gamblang menegaskan bahwa ia mempersembahkan pameran ini untuk sosok yang selalu jadi pusat orbit dalam hidup banyak orang, “Untuk Mama, dan untuk semua ibu di dunia yang tidak selalu diberi ruang penghargaan yang layak. Semoga Mama tersenyum dari surga.”

Dari pameran Rahel Yosi Ritonga ini, agaknya kita bisa belajar satu hal sederhana bahwa cinta seorang ibu tidak selalu hadir dalam bentuk pelukan hangat atau kalimat manis, kadang ia hadir sebagai kehilangan yang panjang. Selain itu, kita juga bisa belajar bahwa duka betapapun beratnya, bisa jadi bahasa lain dari kasih yang tidak sempat selesai diucapkan. Seni menjadi cara paling lembut untuk berdialog dengan yang sudah pergi dan ruang bagi rasa yang tersisa. Yuk, kita peluk ibu kita HEALMates! (RIW)

Bagikan :
Ibu dalam Kanvas Senja, Ketika Galeri Menjadi Wadah Cinta dan Rindu

More Like This

Logo Heal

Kamu dapat menghubungi HEAL disini:

Heal Icon

0858-9125-3018

Heal Icon

heal@sahabatjiwa.com

Copyright © 2023 HEAL X  Sahabat Jiwa