Banyak orang bilang masa muda adalah waktu terbaik untuk bebas, mencoba hal baru, dan menata masa depan. Tapi bagi sebagian anak-anak muda di Indonesia, masa muda mereka seringkali diwarnai dengan bayaran tagihan keluarga, tanggungan biaya sekolah adik, dan pura-pura bahagia di sosial media. Kita bukan generasi gagal, kita cuma generasi yang keburu dewasa sebelum waktunya. Karena di negeri ini, bahkan cinta kepada keluarga pun bisa berubah jadi tagihan bulanan.
Eits, jangan salah paham dulu HEALMates. Ini bukan tentang kamu, kok. Ini tentang teman-teman kita yang mungkin saat ini sedang ada di posisi sebagai pejuang keluarga. Yes, lewat artikel ini kita sedang memeluk mereka yang barangkali tidak memiliki bahu untuk sejenak bersandar dari rasa lelah.
Yuk, langsung saja kita bahas apa itu Sandwich Generation, dampak, dan solusi yang bisa dilakukan.
Ketika Anak Muda Tak Lagi Sepenuhnya Muda
Istilah Sandwich Generation pertama kali dicetuskan oleh Dorothy A. Miller pada 1981 untuk menggambarkan kelompok usia menengah yang menanggung biaya hidup dua generasi sekaligus, orang tua yang sudah lanjut usia dan anak-anak yang masih harus dibiayai.
Tapi di Indonesia, definisinya agak unik. Kita bahkan bisa jadi Sandwich Generation sebelum punya anak. Karena faktanya, banyak anak muda yang sudah ikut menanggung beban ekonomi keluarga sejak awal karier. Kamu mungkin bisa bayangkan bagaimana mengatur gaji yang baru UMR, tapi sudah harus kirim uang ke kampung tiap bulan, bayarin adik kuliah, nanggung cicilan motor keluarga, dan lain-lain.
Kedengarannya agak ironis memang, tapi ini nyata di sekitar kita. Kalau kita tidak termasuk yang mengalami hal ini, kita mungkin bisa bernafas lega. Tapi, ada banyak teman-teman kita yang sedang ada di posisi ini dan harus berjuang keras setiap harinya.
Budaya kita memang tumbuh dalam kasih dan balas budi. Orang tua membesarkan kita dengan susah payah dan kita pun merasa wajib “Membayar kembali” pengorbanan itu. Meskipun kalau diibaratkan, bahkan ketika kita bisa membelah lautan, kita tetap tidak bisa membalas jasa-jasa mereka.
Ditambah lagi, sistem ekonomi modern di negara kita tidak memberi ruang lega. Harga rumah melambung seperti cita-cita yang tertunda, biaya pendidikan terus naik seperti tarif parkir mal, sementara gaji naiknya sepelan sinyal di pedesaan. Duh!
Menurut survei yang dilakukan CNBC Indonesia terhadap 1.828 responden usia produktif berusia 25-45 tahun, ada sebanyak 48,7% masyarakat Indonesia yang memiliki tanggungan finansial atas keluarganya. Dari angka tersebut, ada yang memang sudah memiliki kesiapan finansial dan mental, tapi ada juga yang merasa terbebani secara emosional.
Pada laporan lainnya dari CIMB Niaga Financial Health Index disebutkan bahwa hanya 16% masyarakat Indonesia yang punya tabungan darurat memadai. Artinya, sebagian besar dari kita hidup “Gali lubang, tutup lubang, terus gali lagi”.
Dan di tengah tekanan ini, budaya “gengsi sosial” justru ikut-ikutan menambah beban. Banyak orang yang terjebak ingin terlihat mapan, padahal realitanya mereka sedang berjuang mati-matian.
Pelan-pelan, beban finansial itu menjelma jadi beban eksistensial. Kita jadi merasa nilai diri diukur dari seberapa banyak uang yang bisa kita beri.
Dampak Mental Merasa Bersalah tapi Sejujurnya Lelah
Menjadi sandwich generation bukan cuma persoalan uang ya, HEALMates. Ini juga soal rasa bersalah yang diturunkan secara turun-temurun. Kamu merasa bersalah kalau tidak bisa memberi lebih untuk orang tua. Kadang, kamu juga merasa gagal kalau tidak bisa menyiapkan masa depan anak. Kamu juga merasa jahat kalau menolak permintaan keluarga dan merasa bersalah ketika merasa terbebani akan mereka. Intinya, kamu jadi merasa bersalah karena sudah “merasa bersalah”. Lho, gimana sih?
Padahal, kalau kita juga manusia ya, HEALMates. Punya batas dan punya mimpi. Ada saatnya kita merasa lelah tapi tidak bisa diceritakan karena orang akan bilang,
“Ya namanya juga anak, harus berbakti.”
“Kok, bantu orang tua aja ngeluh? Dosa, lho.”
Hingga akhirnya, sebagian dari kita memilih diam dan memendam semuanya sendirian. Inilah yang kemudian menjadi salah satu akar stres dan burnout di kalangan anak-anak muda.
Sebuah studi menyebutkan bahwa stres finansial adalah penyebab utama burnout di kalangan profesional muda Indonesia. Rasa cemas tentang masa depan, tekanan keluarga, dan harga diri yang diukur dari uang menciptakan generasi yang rentan, “produktif tapi rapuh”.
Banyak anak muda kehilangan arah hidup karena hidupnya sepenuhnya diatur oleh kebutuhan orang lain, seolah hidup bukan lagi tentang “Apa yang aku mau”, tapi “apa yang harus aku bayar”.
Kalau kamu pernah merasa hidupmu seperti file Excel yang penuh angka merah, kamu nggak sendiri, kok. Generasi kita sedang berada di persimpangan pelik antara tanggung jawab moral dan realitas finansial. Kita menyayangi keluarga, tapi di sisi lain, kita juga ingin mandiri dan bebas. Kita ingin membalas budi, tapi juga ingin punya masa depan yang tidak melulu soal uang.
Sayangnya, kita dibesarkan dalam dunia yang serba normatif. Akibatnya, banyak anak muda terjebak. Ingin berkata “tidak”, tapi takut dianggap durhaka. Ingin menolong, tapi dompet menjerit minta ampun.
Dari Edukasi Finansial sampai Edukasi Emosional
Pertanyaannya adalah apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi hal ini? Kabar baiknya, jerat sandwich bukan kutukan selamanya. Selalu ada jalan keluar, meski tidak instan seperti mie seduh. Mungkin beberapa solusi konkret yang bisa dilakukan saat ini adalah sebagai berikut.
1. Cobalah untuk Ungkapkan Bukan hanya Memberi
Kita sering lupa bahwa komunikasi adalah bentuk cinta juga. Orang tua tidak selalu tahu batas kemampuan kita sehingga kadang merasa bahwa kita bisa membantu mereka bagaimanapun keadaannya. Kadang mereka hanya butuh diyakinkan bahwa kita tetap peduli, meski tidak selalu bisa membantu dengan uang.
Jadi, cobalah untuk membicarakannya baik-baik. Jelaskan dengan jujur tentang kondisi keuanganmu. Kamu mungkin bisa bilang, “Aku ingin bantu, tapi boleh nggak aku nyiapin buat masa depanku dulu?”
2. Bangun Dana Darurat dan Investasi Dini
Bukan rahasia lagi bahwa solusi keuangan yang lebih sehat untuk saat ini adalah menyiapkan dana darurat dan investasi. Tanpa dana darurat, hidup kita mudah terguncang. Jadi, kamu mungkin bisa coba untuk mulai menyisihkan 10–20% penghasilan bulanan, meski kecil. Gunakan instrumen sederhana reksa dana pasar uang, deposito, atau emas digital untuk mulai berinvestasi.
Kalau bisa, buat dua tabungan, satu tabungan pribadi untuk masa depanmu sendiri dan satu tabungan keluarga untuk membantu tanpa harus menguras tabungan yang pertama. Dengan begitu, kamu tetap bisa berbakti tanpa harus mengorbankan dirimu sendiri.
3. Putus Rantai Finansial yang Tidak Sehat
Kadang, niat baik malah memperpanjang siklus ketergantungan, lho. Kalau kamu terus membayar semua kebutuhan keluarga tanpa strategi, mereka tidak akan belajar mandiri. Mereka akan selalu bergantung padamu. Jadi, kamu mungkin harus membantu dengan cara yang lain seperti membangun usaha kecil. Ada peribahasa yang klise tapi cukup relevan, “Dibanding selalu memberi ikan, cobalah untuk memberikan kail dan pancingnya”.
4. Edukasi Keluarga Literasi Keuangan
Ini adalah poin yang sangat penting. Mengajarkan keluarga tentang literasi keuangan bukan sekadar soal angka, tapi soal cara pandang terhadap uang, tanggung jawab, dan kebiasaan hidup. Kamu mungkin bisa memutus siklus ini dengan memberikan pemahaman kepada keluarga bahwa anak bukanlah investasi. Ajarkan mereka cara mengelola keuangan tanpa menggurui. Mungkin kamu bisa memberikan contoh atau terlibat langsung di dalamnya ketika membangun sebuah usaha.
5. Bangun Sumber Penghasilan Tambahan
Kalimat ini memang paling klise tapi nyata kok, HEALMates. Solusi keuangan ketika uang kita tidak pernah cukup untuk menutupi kebutuhan ya dengan mencari sumber penghasilan tambahan. Bukan untuk jadi kaya, tapi agar kamu tidak selalu tergantung pada satu sumber. Kamu mungkin bisa memulai dengan skill yang kamu punya, seperti menulis, desain, mengajar, atau jualan kecil-kecilan online. Siapa tahu, dari sampingan itu kamu bisa lepas dari jerat sandwich pelan-pelan.
Menjadi Sandwich Generation bukanlah aib ya, HEALMates. Kita bukan generasi lemah dan orang tua kita juga sebetulnya bukan orang tua yang jahat. Kita hanya generasi yang lahir di masa peralihan ketika struktur ekonomi membuat orang tua kita tidak siap dengan segala kebutuhan.
Tapi hebatnya, kita tetap tertawa, tetap bekerja, tetap mencintai keluarga kita meski berada di ambang tekanan. Sebab kadang, mencintai orang tua dan masa depan itu seperti dua sisi pisau. Kalau salah genggam, kamu bisa terluka. Tapi kalau tepat arah, kamu bisa membangun jembatan finansial yang lebih baik. Ingat, roti juga bisa jadi lebih empuk kalau dipanggang pelan-pelan. Jadi, kita bisa memulainya pelan-pelan. Tetap semangat ya, HEALMates! (RIW)

