Logo Heal

MENTAL HEALTH

Mental Health

Hari Guru Sedunia atau Hari Kesejahteraan Guru Sedunia?

Hari Guru Sedunia atau Hari Kesejahteraan Guru Sedunia?

Oleh :

Pada Hari Guru Internasional tanggal 6 Oktober kemarin, aktris Cinta Laura membagikan video pendapatnya yang membuat saya terdiam lama. Ia menyinggung bahwa dulu guru bukan hanya dihormati, tapi diagungkan. Negara lain bahkan mendatangkan guru dari Indonesia untuk belajar pada sistem pendidikan kita. Namun kini, di Indonesia profesi yang dulu dianggap mulia justru harus berjuang keras untuk sekadar diakui dan bertahan hidup.

Kalimat itu terasa menampar. Karena begitulah kenyataannya.

Sampai tahun 2025 ini, guru di Indonesia masih bergulat dengan kesejahteraan yang jauh dari kata layak. Guru masih dihormati dalam kata, tapi diabaikan dalam kebijakan. Beban kerja menumpuk, gaji tak cukup, bahkan seringkali diremehkan. Tak sedikit karena tuntutan hidup, setelah mengajar harus berdagang, bertani atau membuka les tambahan. Tubuh lelah dan pikiran letih. Keduanya  berjalan beriringan, seperti bayangan yang tak bisa dipisahkan dari langkah seorang guru. Banyak guru menanggung lelah  bukan hanya di pundak, tapi juga di hati. Kesehatan mental guru pelan-pelan terkikis oleh tekanan yang datang dari segala arah.

Saya menulis ini dengan hati yang berat, karena saya ikut merasakan dan melihatnya sendiri di rumah. Kakak saya adalah seorang guru honorer di desa. Suatu hari, saya berbincang dengan kakak saya yang tengah memberi makan kambing-kambing di kandang kecilnya. Menurut saya, dibanding menjadi guru lebih menghasilkan usaha ternaknya. Saya menanyakan apakah pernah terbesit di pikirannya untuk berhenti mengajar. 

“Kadang kepikiran ingin berhenti,” katanya pelan, “tapi kalau lihat wajah anak-anak, saya nggak tega. Siapa yang akan mengajari mereka?”

Kata-katanya membuat saya terdiam. Ada kasih sayang yang mendorong terus berjuang, tapi juga realitas yang begitu kejam. Kalimat itu menancap seperti doa yang sederhana tapi dalam. Karena dibalik kata “tidak tega,” ada cinta yang membuat guru tetap bertahan meski tak meski digaji tak layak.

Tahukan HEALMates? kakak saya bukan satu-satunya. Data menunjukkan, 74% guru honorer di Indonesia digaji di bawah dua juta rupiah per bulan. 20,5% di bawah lima ratus ribu. Bahkan, 80% di antaranya hidup dalam lilitan hutang, hanya untuk menutupi kebutuhan dasar. Namun, mereka tetap bertahan. 

Guru Juga Manusia: Antara Dedikasi dan Lelah Jiwa

Beban administratif, tekanan dari orang tua murid, serta ketidakpastian status kerja menjadi kombinasi yang melelahkan secara psikis. Banyak guru harus menjalani pekerjaan ganda. Guru mengajar di pagi hari, lalu bekerja sampingan di sore atau malam hari. Alasannya karena demi mengepulkan asap dapur. Dari sisi psikologis, kondisi ini berisiko menimbulkan burnout, stres berkepanjangan, kehilangan motivasi, hingga rasa tidak berdaya.

Guru yang mengalami kelelahan mental sering kali tetap tampil kuat di depan siswa. Namun, di balik senyum itu ada pikiran yang berisik. Rencana pembelajaran akhirnya disusun seadanya karena tenaga sudah habis untuk bertahan hidup. Dampaknya, kualitas pengajaran ikut menurun. Hal itu bukan karena kurang dedikasi, tapi karena sistem tak memberi ruang bagi guru untuk bernapas.

Ada guru yang berkata bahwa ia sering ingin berhenti, tetapi setiap kali melihat senyum anak-anak, semua beban seolah hilang. Guru lain bercerita, anaknya sendiri berkali-kali memintanya berhenti mengajar karena merasa pekerjaan sang ibu tak dihargai dengan layak. Namun, ia memilih bertahan, karena membayangkan sekolah itu tanpa guru membuat hatinya tak tega.

Mereka tahu lelahnya mengajar di tengah gaji yang minim, tapi tetap memilih bertahan. Ada kebahagiaan sederhana yang tak bisa dibeli: melihat anak yang dulu tak bisa membaca, kini lancar menulis. Bagi guru yang sudah mengajar cukup lama, melihat muridnya sudah sukses adalah kebanggan tersendiri.

Kesejahteraan Tertunda Karena Pendidikan Bukan Prioritas

Sebagai calon guru yang sudah menempuh PPG (Pendidikan Profesi Guru), saya pun sering merasa gamang. Kami disebut calon guru profesional, tapi realitanya kami dibiarkan mencari jalan sendiri tanpa arahan. Program ini digadang-gadang sebagai jalan menuju kesejahteraan. Namun, ibarat kami sudah punya kunci, tapi pintunya tak pernah ada. Pintu itu bernama PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) pengganti PNS Guru karena ketidaksanggupan pemerintah membayar dana pensiun. Kabar terakhir mengatakan pembukaan PPPK tertunda karena tidak ada dana. Apa yang bisa diharapkan dari negara yang menganggap pendidikan sebagai prioritas terakhir. Sistem dan peraturan yang terus berubah membuat banyak lulusan PPG akhirnya kembali menjadi pengangguran atau honorer tanpa gaji. Mereka menunggu beberapa tahun lagi hanya untuk terdata. Padahal biaya hidup yang dikeluarkan selama PPG juga tak sedikit. Namun, setelah lulus masih harus rela ikhlas mengajar dan mencari pekerjaan sampingan.

Tidak sedikit guru yang sudah tua dan puluhan tahun mengabdi. namun, sampai saat ini belum pernah menerima gaji layak. Sertifikasi yang dijanjikan tak kunjung datang. Nama mereka tak pernah terpanggil, entah karena sistem atau karena permainan. Lebih menyakitkan lagi, ada kabar tentang anak muda kerabat pejabat sekolah yang baru saja lulus kuliah tiba-tiba masuk sistem dengan curang, ikut PPPK dan langsung sejahtera. Cerita seperti itu terlalu sering terdengar untuk bisa disebut kebetulan. Lalu, di mana letak adilnya?

Anggaran triliunan terdengar megah di berita, tapi di lapangan, banyak guru masih harus menulis laporan keuangan dengan tinta air mata. Bahkan program pemerintah kadang terasa seperti sandiwara. Menghabiskan dana besar, tapi melahirkan kebijakan yang tak menyentuh akar masalah. Bukannya disejahterakan, guru justru dikotak-kotakan. Ada guru PNS, PPPK, PPPK Paruh Waktu, Honorer, Lulusan PPG, dan istilah lain yang mungkin akan muncul sebagai peredam protes guru. Lucunya, pemerintah dengan sistemnya ini membuat para Guru saling menyalahkan dan menyudutkan. Dalam kekacauan ini, guru dituntut harus tetap tersenyum di depan murid meski pikirannya dipenuhi tuntutan dan ketidakpastian.. 

Menjaga Terang di Tengah Lelah Dunia

Sebagai bagian dari generasi muda, saya juga sering mendapat pertanyaan dari teman-teman:

“Kok mau jadi guru? Guru kan nggak ada duitnya.”

Saya hanya tersenyum. Karena mereka tidak salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Menjadi guru memang tidak menjanjikan kekayaan. Tetapi, ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar uang yakni perasaan bahwa hidup ini punya makna. Namun, makna itu pun bisa pudar bila terus dipaksa berjalan tanpa daya. Saya tidak ingin sebutan pahlawan tanpa tanda jasa diromantisasi dan terus dijadikan alasan untuk menutup mata dari kenyataan. Guru bukan malaikat, mereka juga manusia yang butuh istirahat, butuh dihargai, butuh cukup makan. Negara tidak boleh terus memaksa mereka menjadi suci dalam sistem yang korup.

Kini, menjelang Hari Kesehatan Jiwa 10 Oktober, semoga pemerintah tak lagi menutup mata. Guru bukan sekedar pengajar, tapi manusia yang juga butuh ruang aman untuk bernapas, butuh pengakuan yang nyata, bukan janji yang ditunda. Kesejahteraan mereka bukan belas kasih, melainkan hak dasar bangsa yang ingin tumbuh waras dan beradab.

Terima kasih, para guru.

Terima kasih sudah bertahan, bahkan saat negara seperti lupa pada kalian.
Semoga suatu hari nanti, Hari Guru tak lagi sekadar tentang bunga dan seremonial,tapi tentang kepastian gaji yang layak, perlindungan batin yang nyata, dan penghargaan yang hidup dalam tindakan. 

Sampai hari itu tiba, teruntuk HEALMates yang mungkin merupakan orang tua, murid, dan siapa pun yang masih percaya pada ilmu. Marilah ikut menjaga para guru. Dengarkan, hargai, dan suarakan guru di sekitarmu. Dorong kebijakan yang adil. Agar terang itu tak padam di tengah lelahnya dunia. (RY)

Bagikan :
Hari Guru Sedunia atau Hari Kesejahteraan Guru Sedunia?

More Like This

Logo Heal

Kamu dapat menghubungi HEAL disini:

Heal Icon

0858-9125-3018

Heal Icon

heal@sahabatjiwa.com

Copyright © 2023 HEAL X  Sahabat Jiwa