Logo Heal

MENTAL HEALTH

Mental Health

Intelegensi Emosional dan Kemampuan Mengendalikan Emosi, Bawaan Lahir atau Bisa Diasah?

Intelegensi Emosional dan Kemampuan Mengendalikan Emosi, Bawaan Lahir atau Bisa Diasah?

Oleh :

Intelegensi emosional dan kemampuan mengendalikan emosi masih jadi topik yang menarik untuk dibahas ya, HEALMates? Kemampuan ini tentu tidak dimiliki oleh semua orang. 

HEALMates tentu pernah menjumpai orang-orang dewasa maupun anak-anak yang secara karakter terkesan kalem, tenang dan senang tersenyum? Di lingkungan sosial negara kita, karakter seperti ini seringkali ini dianggap sesuatu yang merupakan “bawaan dari lahir”. Jika itu benar, rasanya akan sangat disayangkan ya? Sebab, orang-orang yang kurang bisa mengatur emosi juga mungkin merasa ingin bisa memiliki intelegensi emosional ini.

Tapi, apakah benar mereka yang tampak tenang mengatur emosi, stay cool meski menghadapi tekanan, dan nggak mudah terpancing emosi memang sudah bawaan sejak lahir? Atau sejatinya keterampilan ini bisa diasah sejak dini? Sebelum kita bahas lebih dalam, ada baiknya kita pahami bersama apa itu intelegensi emosional. 

Apa itu Intelegensi Emosional? 

Intelegensi emosional atau emotional intelligence (EQ) adalah sebuah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menelaah, memahami, mengelola, dan menggunakan perangkat emosi diri sendiri untuk mengenal dan mempengaruhi emosi orang lain. Sederhananya, kemampuan ini adalah kemampuan yang membantu kita mengerti perasaan sendiri dan perasaan orang lain sehingga kita tahu cara mengendalikan emosi agar tidak berantakan. 

Dilansir dari laman Talent Smart EQ, ada beberapa komponen penting dari EQ atau IE ini, seperti kesadaran diri (self-awareness), pengelolaan diri (self-management), kesadaran sosial (social-awareness), dan pengelolaan hubungan (relationship-management). Keempat aspek ini sangat penting dalam mengendalikan emosi lho, HEALMates. Jadi, intelegensi emosional ini memang berkaitan dengan kemampuan kita untuk mengatur emosi, pikiran, dan perilaku agar tetap produktif dan selaras dengan tujuan yang ingin dicapai, termasuk dalam hal sosial dan hubungan dengan sesama manusia. Sebab, untuk membangun hubungan sosial yang kuat, mengambil keputusan penting, dan menyelesaikan berbagai persoalan, kemampuan ini sangat diperlukan.

Lalu, apakah kemampuan mengendalikan emosi atau intelegensi emosional ini bawaan dari lahir atau bisa dipelajari? Tidak seperti IQ, inteligensia emosional ternyata bisa kok dikembangan dan ditingkatkan seiring berjalannya waktu. Artinya, kita bisa mempelajarinya sepanjang kita mau berusaha dan mempraktikannya dalam kehidupan. 

Kita juga bisa membantu anak-anak kita untuk menata kemampuan EQ ini selagi mereka masih masa berkembang sehingga lebih mudah dibentuk. Contoh sederhana adalah ketika  anak-anak sedang tantrum atau mengeluarkan emosi yang meledak-ledak. Menghukum mereka bukanlah langkah tepat untuk menanganinya. Alih-alih berlaku keras dan memberikan punishment, kita mungkin bisa memeluk mereka dan  menerima emosinya. 

Baru setelahnya, ketika mereka sudah tenang, kita bisa memberikan nasihat dan contoh bahwa kita bisa kok mengeluarkan emosi tanpa harus meledak-ledak dan bersikap buruk. Sebagai orangtua, kita tentu perlu memiliki kemampuan mengendalikan emosi terlebih dahulu anak-anak kita bisa mencontohnya. 

Ini jugalah yang tersirat dalam beberapa hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang fase mendidik anak, bahwa mulai dari usia 0 sampai menjelang 8 tahun (7 tahun dari kehidupan pertama mereka) anak-anak harus banyak diberikan pelukan dan ciuman dari kedua orang tua.  Selain itu, ucapan “I love you” juga seharusnya bukan hal yang tabu untuk diungkapkan kepada anak ya, HEALMates. 

Selanjutnya dalam mendidik anak,  ‘saying no’ juga tidak disarankan. Tentu saja hal ini tidak mudah ya, HEALMates. Saya sendiri sebagai orangtua dari seorang anak perempuan mencoba menerapkan hal ini dengan menyisipkan banyak humor. Ini saya lakukan semata-mata agar anak tetap memahami maksud yang hendak kita sampaikan dan kasih sayang kita tetap memenuhi ruang pikiran anak-anak. 

HEALMates pastinya setuju bahwa anak-anak itu innocent, jiwanya penuh kegembiraan, dan sangat tulus. Dengan kita tidak mengatakan ‘no’, kita sejatinya sedang menjaga agar mereka tidak ‘pindah’ ruang pikiran dan mengalihkannya ke ruang negatif. 

Jadi, cara saya untuk menenangkan mereka adalah memulai dengan senyum, menatap mata dengan penuh kasih sayang, lalu menyampaikan alternatif solusi yang bisa mereka lakukan. 

Misalnya, saat pergi ke supermarket, sewaktu dia sudah mulai bisa jalan, dia senang sekali mengambil kereta belanja yang khusus untuk anak kecil. Sambil mendorongnya, semua barang yang dapat digapai dan menurutnya menarik langsung dimasukkan ke kereta belanjanya. Sambil mendampingi, saya hanya tertawa, karena fokus saya adalah antusiasme anak yang baru bisa berjalan dan bisa meniru gaya orang tua dewasa untuk berbelanja. 

Kemudian, setelah keranjang belanja sudah penuh dan dia sudah merasa puas, kita sama-sama ke kasir dan di situ saya bilang “Wah, kelihatannya terlalu banyak ini sayang, Kita pilah-pilah yuk mana yang kita benar-benar butuh, gimana?” Setelah itu, saya dan anak saya mengembalikan barang-barangnya satu per satu ke rak. Iya, satu persatu.

Pengalaman saya ini tentunya hanya sebuah contoh sederhana bagaimana mengajarkan kemampuan mengendalikan emosi kepada anak sejak dini. Ada banyak cara yang bisa dilakukan oleh HEALMates tentunya sesuai dengan kebutuhan masing-masing. 

Strategi Pengendalian Emosi #1 Melabeli Emosi

Kembali ke pembicaraan kita tentang EQ, EQ ini ditunjang oleh kemampuan yang disebut dengan emotional regulation atau pengendalian emosi. Kemampuan ini mendukung kita dalam menelaah pengalaman-pengalaman hidup yang berat tanpa terpicu menjadi konsekuensi emosional yang tidak terkendali. Reaksi yang terlalu intens secara emosional cenderung akan lebih mengganggu dibanding gejala-gejala lainnya.

Oleh karenanya, kita perlu strategi dalam mengendalikan emosi. Kemampuan mengendalikan emosi secara efektif berbanding lurus dengan tingkat intelegensi emosional seseorang. Dengan kemampuan ini, kita bisa memiliki kesadaran terhadap emosi sehingga akan mampu mengungkapkannya dengan baik dan mengaturnya secara independen ketika sedang berinteraksi dengan orang lain. 

HEALMates mungkin bisa memulai cara pengendalian ini dengan memperhatikan perasaan-perasaan yang ada dan memberikan label pada perasaan itu. Menurut sejumlah sumber, ada beberapa derajat ukuran emosi. Kemarahan misalnya, ada banyak ukuran emosi marah, seperti “kesal”, “sedikit tersinggung”, “marah”, atau “marah besar”. Nah, kalau HEALMates bisa menelaah lebih dalam, HEALMates akan bisa menentukan ukuran emosi yang sedang HEALMates alami. Misalnya, kamu merasa “terganggu”, “tegang”, “sedih”, “frustasi” atau “kecewa”. Kesadaran akan ukuran emosi inilah yang nantinya bisa membantu HEALMates untuk menelaah momen-momen sulit yang sedang dilalui.

Proses mengenal kadar emosi ini sejatinya bisa dimulai dari lingkungan keluarga ya, HEALMates. Idealnya memang kita boleh mengekspresikan semua jenis, tingkat, hingga kadar emosi. Sebab, semua emosi tentu datang karena sebuah alasan. Oleh karena itu, keluarga sebaiknya tidak mengajarkan anaknya untuk mengabaikan emosi. Misalnya, rasa marah kadang muncul untuk melindungi diri kita dan itu normal. Begitu juga dengan rasa sedih. Saat kita menunjukkan kesedihan, orang di sekitar bisa menangkap sinyal bahwa kita sedang butuh dukungan.

HEALMates, kemampuan mengatur emosi itu nggak datang tiba-tiba, tapi bisa dibentuk pelan-pelan lewat proses yang panjang. Kalau HEALMates punya anak kecil, wajar banget kalau mereka belum bisa mengendalikan emosinya dengan baik. Tugas kita adalah membantu mereka mengenali dan memahami perasaannya.

Coba bacakan buku tentang emosi, ajak mereka ngobrol tentang apa yang mereka rasakan, lalu ceritakan juga bagaimana kamu mengelola emosimu sendiri, tentu dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti anak-anak, ya.

Penting banget buat memberi ruang yang cukup untuk mengekspresikan emosi di rumah. Biarkan setiap anggota keluarga, termasuk anak-anak, merasa aman untuk menunjukkan apa yang mereka rasakan. Tapi yang paling penting, berikan contoh langsung. Misalnya, saat sedang marah, kamu bisa bilang ke anak:

“Maaf ya, Mami sedang kesal. Nanti kita ngobrol lagi kalau Mami udah lebih tenang, ya.”

Dengan begitu, anak belajar bahwa marah itu boleh, tapi tetap harus tahu cara menanganinya. Kadang kita memang perlu menahan diri, dan itu nggak apa-apa, justru dari situ anak belajar bahwa emosi bisa dikendalikan. Mengajarkan self-control bukan soal menekan perasaan, tapi menunjukkan bahwa setiap emosi bisa dikelola dengan bijak.

Strategi Pengendalian Emosi #2 Intervensi Perilaku

Strategi kedua yang bisa kita lakukan untuk mengajarkan pengendalian emosi adalah dengan mengintervensi perilaku. Memang sih cara ini cukup melelahkan, tapi juga telah terbukti dapat membantu meningkatkan kemampuan intelegensi emosional, lho. 

Salah satu contohnya yakni terapi anak-anak di mana anak-anak dapat mengenal dan mempelajari emosi mereka serta mengembangkan mekanisme di dalam diri untuk memiliki kemampuan mengendalikan emosi yang penting di masa kecil anak.

Selain itu, ada juga strategi sederhana yang bisa langsung HEALMates terapkan di rumah, seperti beri tanggapan langsung saat anak menunjukkan emosi. Misalnya, ketika anak terlihat kesal dan mulai berperilaku negatif, kita bisa menanggapinya dengan tenang:

“Papi lihat kamu lagi kesal, ya. Kesel boleh tapi nggak boleh pukul teman, ya.”

Dengan cara ini, anak merasa dipahami sekaligus belajar bahwa semua emosi boleh dirasakan, asal tetap tahu cara mengekspresikannya dengan baik.

Strategi #3 Meditasi Mindfulness

Praktek mindfulness sebenarnya sangat populer di kalangan masyarakat kita yang terpengaruh dari tradisi kejawen, Jawa, dan ajaran agama mayoritas yakni Islam. Mindfulness berarti memberi perhatian penuh pada apa yang sedang terjadi, dari detik ke detik, dari satu momen ke momen berikutnya, tanpa menghakimi atau terburu-buru bereaksi. 

Tujuannya bukan supaya kita selalu tenang atau bahagia, karena hidup pasti penuh perubahan dan hal-hal tak terduga. Tapi lewat mindfulness, kita bisa belajar untuk tetap tenang dan kuat berdiri, bahkan saat segala sesuatu di sekitar kita nggak berjalan sesuai rencana.

Pengendalian emosi adalah salah satu manfaat penting dari mindfulness. Seiring waktu, sikap mindful bisa melatih “otot-otot” otak kita untuk jadi lebih kuat dalam menghadapi berbagai situasi. Dengan membiasakan diri untuk sadar terhadap apa yang kita rasakan, kita sebenarnya sedang “memprogram” otak agar mampu mengamati ketidaknyamanan tanpa harus langsung bereaksi secara spontan.

HEALMates, cobalah untuk mengenali dan memberi nama pada setiap emosi yang muncul tanpa terjebak dalam pola perilaku yang tidak sehat. Banyak dari kita sering kali terseret oleh emosi sendiri karena terlalu reaktif, seolah hidup dijalani dalam mode auto pilot.

Misalnya, saat anak sedang tantrum, kita bisa saja ikut terpancing emosi dan bereaksi berlebihan, entah dengan terlalu mengalah atau justru memberi hukuman yang tidak proporsional. Tapi dengan mindfulness, kita bisa belajar untuk tetap tenang, berpikir jernih, dan merespons dengan niat yang lebih sadar.

Sebagai orang tua, penting banget untuk tetap tenang dan sadar diri di tengah “ombak” emosi anak-anak maupun tekanan lingkungan sekitar, termasuk di tempat kerja. Saat Healmates hidup dengan sikap mindful, anak-anak akan meniru cara itu secara alami. 

Tanpa disadari, emotional intelligence kita ikut terasah lewat praktik mindfulness ini. Semakin sering kita melatihnya, semakin terbiasa pula otak kita untuk tetap tenang dan sadar dalam berbagai situasi, dan perlahan kita akan mulai merasakan manfaatnya. (DIV)

Bagikan :
Intelegensi Emosional dan Kemampuan Mengendalikan Emosi, Bawaan Lahir atau Bisa Diasah?

More Like This

Logo Heal

Kamu dapat menghubungi HEAL disini:

Heal Icon

0858-9125-3018

Heal Icon

heal@sahabatjiwa.com

Copyright © 2023 HEAL X  Sahabat Jiwa