Banyak seniman perempuan, seperti Christine Ay Tjoe dan Titarubi menggunakan karya untuk menyuarakan identitas yang sering diabaikan.
Diakui atau tidak, diskriminasi gender, etnis, latar sosial masih banyak terjadi, termasuk di panggung seni kontemporer Indonesia. Sebuah karya seringkali dinilai dari siapa yang membuat dan identitas apa yang melekat dalam tubuhnya.
Kalau HEALMates perhatikan, dalam beberapa dekade terakhir mulai muncul gelombang seniman yang bukan hanya membuat karya estetik, tetapi juga mengangkat narasi minoritas, seperti perempuan, kelompok etnis yang terpinggirkan, hingga sejarah dan politik yang terlupakan.
Lantas, bagaimana seniman perempuan mengangkat isu-isu minoritas di dalam karyanya? Bagaimana seni bisa menjadi medium untuk mendapatkan pengakuan identitas di ruang publik? Yuk, kita bahas lebih lengkap di artikel berikut ini HEALMates.
Perempuan di Dunia Seni Kontemporer
Perempuan di dunia seni kontemporer Indonesia memang sudah banyak memperoleh pengakuan ya, HEALMates. Ini tentu berbeda dengan beberapa dekade silam di mana seniman perempuan belum memiliki ruang yang utuh untuk berkarya dan kerap terpinggirkan.
Meski demikian, ada nafas khas yang disampaikan oleh seniman-seniman perempuan untuk menunjukkan identitas gendernya lewat kanvas. Salah satu seniman perempuan yang banyak diperbincangkan saat ini adalah Christine Ay Tjoe dan Titarubi. Meski memiliki pendekatan berbeda, namun kedua seniman ini sama-sama menyampaikan isu seputar tubuh, spiritualitas, kerja emosional, dan pengalaman gender dalam karya visualnya.
Nama Christine Ay Tjoe dalam lanskap seni rupa juga sudah sangat melegenda. Ia dikenal lewat lukisan-lukisan abstrak yang padat dengan goresan, warna, dan figur-figur yang kadang samar. Karyanya sering membahas relasi antara batin dan tubuh, kerentanan manusia, sekaligus nuansa spiritual yang personal. Meski cara berkomunikasinya bersifat abstrak, dampak karyanya sangat konkret. Ay Tjoe telah mendapat pengakuan internasional dan menjadi salah satu figur perempuan yang mengubah narasi nilai estetika sekaligus komersial di pasar seni Indonesia dan Asia. Perjalanan karier dan tema-tema karya Ay Tjoe yang menyentuh pengalaman manusia, spiritualitas, dan emosi telah banyak didokumentasikan di beberapa galeri dan pameran internasional.
Salah satu yang terkenal adalah lukisannya The Team of Red yang dilelang di balai lelang Sotheby’s Asia, di Singapura, Minggu, (2/7/23). Tak tanggung-tanggung, karya abstrak itu ditaksir mencapai Rp7,2 miliar sampai Rp14,5 miliar.
Sementara itu, Titarubi fokus di ranah yang lebih eksplisit politis dan tubuh-sentris. Latar belakangnya di keramik berkembang jadi eksperimen skala besar. Ia menghadirkan seni instalasi, patung, dan aksi artistik yang kerap melibatkan simbol tubuh perempuan, kain, dan material sehari-hari.
Titarubi nggak segan dalam menggunakan citra tubuh, kain, dan ikonografi untuk memprovokasi diskusi soal norma gender, sensor, serta kekerasan simbolik terhadap perempuan. Bentuk seninya seakan merespon langsung wacana publik dan kebijakan. Pameran internasional yang melibatkannya, termasuk perwakilan Indonesia di Venice Biennale, seakan menegaskan posisinya sebagai suara perempuan yang tidak hanya representatif tetapi juga agitator sosial.
Persoalan Minoritas dalam Seni
Baik Christine Ay Tjoe maupun Titarubi, keduanya sama-sama menggunakan aspek formal seni, seperti warna, bentuk, dan instalasi sebagai alat argumentasi. Bagi kedua seniman ini, karya mereka tentu bukan sekadar hiasan.
Christine Ay Tjoe memanfaatkan abstraksi dan repetisi garis untuk mengakses lapisan emosi dan pengalaman subjektif yang sulit diucapkan. Citra yang samar namun intens itu seakan menjadi undangan interpretasi sehingga isu-isu seperti peran perempuan, kerentanan, dan spiritualitas bisa dimaknai oleh mereka yang melihat karyanya.
Adapun Titarubi lebih senang menyodorkan tubuh dan simbol langsung ke ruang publik, seperti kain, payudara, replika patung dan lain-lain. Simbol-simbol ini “dimodifikasi” sehingga dapat menjadi katalis diskusi untuk melihat bagaimana isu diskriminasi perempuan dan patriarki yang masih lekat di masyarakat sampai hari ini. Bentuk-bentuknya juga sering memanfaatkan estetika yang provokatif. Sepertinya sih tujuannya agar publik bisa lebih aware pada isu yang disampaikan.
Tantangan Pasar dan Pemahaman Publik
Berbicara soal pengakuan identitas lewat seni tentunya bukan tanpa tantangan ye, HEALMates. Apalagi dalam kancah global, pasar seni masih didominasi oleh kelompok tertentu yang bisa menentukan siapa yang “layak” mendapat perhatian.
Di tingkat publik, tantangan terbesar tetap pada pemahaman, bagaimana masyarakat luas bisa membaca simbol dan konteks yang disuguhkan. Di sinilah kuratorial sangat berperan agar kita yang awam bisa lebih paham tentang pesan dan konteks yang dihadirkan.
Nah, itulah ulasan mengenai perempuan dan suara minoritas di dunia seni kontemporer Indonesia HEALMates. Apakah HEALMates mulai tertarik pada karya-karya seni? (RIW)