Logo Heal

ART, MONEY & TECHNOLOGY

Art, Money & Technology

Mengenal Tren Quiet Quitting, Jaga Kewarasan atau Malas Bekerja?

Mengenal Tren Quiet Quitting,  Jaga Kewarasan atau Malas Bekerja?

Oleh :

HEALMates, beberapa waktu belakangan ini, istilah quiet quitting sedang banyak dibicarakan, terutama di kalangan pekerja muda, ya? Mulai dari TikTok, Twitter, hingga grup WhatsApp kantor, banyak yang mulai menerapkan  tren ini dalam pekerjaannya. 

Tapi, apa sih sebenarnya quiet quitting? Apakah ini bentuk self-care demi menjaga kesehatan mental atau justru tanda kita mulai kehilangan motivasi kerja? Agar HEALMates tidak bingung, yuk kita bahas apa itu tren quiet quitting dan bagaimana hal ini banyak terjadi di dunia kerja saat ini. 

Apa Itu Quiet Quitting?

Meski istilahnya quiet quitting, tapi bukan berarti resign diam-diam, ya. Jadi, quiet quitting adalah istilah yang merujuk pada kondisi seseorang yang memilih hanya melakukan tugas minimum untuk pekerjaannya, tanpa mau memberi waktu, tenaga, atau semangat ekstra pada tugas lain di luar job desk. Kalau menurut Merriam-Webster, istilah quiet quitting berarti “melakukan persis yang diminta, tidak lebih.”

Beberapa tahun sebelumnya, kita masih meyakini bahwa bekerja “lebih dari yang tertulis di jobdesk” adalah hal normal yang positif. Misalnya, datang lebih awal, lembur, ambil proyek tambahan, atau siap 24/7 di-chat perihal pekerjaan. Sikap ini seringkali menunjukkan loyalitas terhadap pekerjaan. Namun, semakin berkembangnya kesadaran tentang work life balance di kalangan generasi muda, hal-hal seperti bekerja di luar job desk semakin dianggap bukan hal yang normal. Nggak heran ya HEALMates, kalau banyak pekerja muda yang bilang, “Nggak, terima kasih. Saya bekerja sesuai kontrak, tidak lebih.

Fenomena ini pun kemudian meledak setelah ramai dibahas di TikTok pada 2022 lalu. Video-video bertagar #QuietQuitting sudah ditonton bahkan hingga jutaan kali dan jadi bahan refleksi generasi muda yang ingin hidup lebih seimbang.

Kenapa Generasi Muda Pilih Quiet Quitting?

Ada beberapa alasan yang membuat banyak generasi muda, seperti milenial dan Gen Z memutuskan untuk slow down di tempat kerja. Beberapa di antaranya yakni:

1. Burnout karena Tekanan Kerja

Generasi muda menghadapi beban yang sering tidak seimbang, seperti target tinggi, jam kerja panjang, dan ekspektasi “always on” karena digital. Nggah heran, banyak dari mereka yang kemudian merasa lelah secara emosional. Quiet quitting menjadi cara untuk mencegah burnout total.

2. Kehilangan Makna

Kalau pekerjaan terasa cuma “gajian setiap bulan” tanpa nilai yang sejalan dengan kehidupan pribadi, motivasi kerja ekstra pun pada akhirnya susah muncul. Banyak yang akhirnya berpikir, “Kenapa harus kerja mati-matian kalau tidak dihargai atau tidak sejalan dengan tujuan hidupku?”

3. Cari Keseimbangan Hidup

Generasi muda saat ini memang sudah lebih sadar pentingnya mental health dan work-life balance. Mereka nggak mau hidup hanya seputar kantor. Quiet quitting jadi cara untuk menandai batas, kerja tetap profesional, tapi nggak mengorbankan waktu pribadi.

4. Pengaruh Media Sosial

Istilah ini viral di TikTok dan media sosial. Banyak anak muda merasa terwakili dan akhirnya sadar bahwa “kerja sesuai kontrak” bukan dosa. Mereka saling mendukung untuk tidak jadi korban hustle culture.

Menjaga Kesehatan Mental atau Kehilangan Motivasi Bekerja?

Beberapa pakar psikologi pun melihat tren quiet quitting ini sebagai mekanisme yang baik untuk mempertahankan kesehatan mental di dunia kerja. Tak hanya itu, quiet quitting juga jadi salah satu cara untuk melindungi diri dari eksploitasi. Sebab, tidak sedikit perusahaan yang menuntut lebih tanpa kompensasi yang setara. Quiet quitting seakan menjadi cara diam-diam untuk berkata “cukup.” Ketika produktivitas menurun, atasan kadang mulai membuka percakapan tentang ekspektasi yang realistis. Quiet quitting bisa menjadi jalan agar atasan bisa lebih aware soal beban kerja.

Akan tetapi, seperti pisau bermata dua, quiet quitting juga punya sisi negatif yang justru menimbulkan tanda tanya. Banyak juga pekerja yang justru melakukan quiet quitting sebagai pengalihan karena kehilangan motivasi kerja atau memang malas bekerja. Apalagi, jika dilakukan tanpa tujuan jelas, quiet quitting bisa membuat kita stagnan. Kita berhenti belajar, berhenti berinovasi, dan akhirnya kehilangan peluang untuk berkembang.

Selain itu, budaya “asal sesuai job desk” ini juga bikin tim jadi lesu dan kurang kolaboratif. Jika hal ini terus-terusan dilakukan, kinerja perusahaan pun bisa menurun. Padahal, kita harus memahami bahwa inisiatif dan produktivitas bekerja sangat penting dalam pengemban karier. Salah-salah, kita bisa dicap sebagai karyawan yang tidak produktif bagi perusahaan dan dirumahkan. 

Padahal, tidak semua pekerja punya privilege yang sama, ya HEALMates. Ada yang tetap harus “all out” karena kondisi ekonomi dan bertahan di pekerjaan yang dijalani. Terkadang, quiet quitting ini dianggap sebagai “kemewahan” bagi yang punya pilihan.

Batas Sehat Tanpa Kehilangan Motivasi

Kalau kamu merasa ingin quiet quit, kamu mungkin harus mencoba memikirkan kembali beberapa hal ini.

1. Komunikasikan Beban Kerja

Alih-alih diam-diam hanya bekerja sesuai job desk, cobalah untuk membicarakan dengan atasan soal ekspektasi yang realistis atau peluang jika harus bekerja lebih fleksibel.

2. Jaga Profesionalisme

Sebetulnya, bekerja sesuai kontrak itu sah-sah saja ya, HEALMates. Tapi, pastikan kamu tetap profesional dan tidak merugikan tim. Apalagi, kalau kamu hanya ikut-ikutan tren tanpa dasar yang jelas.

3. Temukan Makna dalam Pekerjaan

Kalau tugasmu terasa hambar, coba deh HEALMates cari sisi yang bisa memberi nilai personal. Mungkin kamu bisa belajar skill baru, mengembangkan relasi, atau sekadar bekerja dengan integritas.

4. Jaga Batas Bukan Berhenti Total

Ada perbedaan antara menjaga batas dan berhenti total untuk produktif ya, HEALMates. Jadi, jangan sampai quiet quitting ini hanya kamu jadikan alasan untuk menutupi kemalasan. Kamu masih bisa peduli, belajar, dan memberi kontribusi yang positif untuk perusahaan, namun tetap tidak boleh mengorbankan kesehatan mental.

Itulah penjelasan mengenai apa itu quiet quitting yang bisa HEALMates jadikan referensi, ya. Memang sih, quiet quitting ini masih ada di ranah yang abu-abu. Bagi sebagian pekerja muda, hal ini bisa jadi bentuk proteksi mental, namun bagi sebagian lain, mungkin jadi tanda hilangnya gairah dan ambisi.

Nah, yang terpenting adalah menemukan keseimbangan ya HEALMates. Kamu bisa bekerja sesuai kapasitas, tetap profesional, menjaga kesehatan mental, tapi juga tidak menutup peluang untuk berkembang. Sementara itu, perusahaan sebaiknya melihat fenomena ini sebagai wake-up call untuk memperbaiki budaya kerja dan menetapkan ekspektasi yang realistis. (RIW)

Bagikan :
Mengenal Tren Quiet Quitting,  Jaga Kewarasan atau Malas Bekerja?

More Like This

Logo Heal

Kamu dapat menghubungi HEAL disini:

Heal Icon

0858-9125-3018

Heal Icon

heal@sahabatjiwa.com

Copyright © 2023 HEAL X  Sahabat Jiwa