Penulis : Widya Auradien
Perundungan atau bullying merupakan interaksi negatif baik secara verbal, fisik, ataupun sosial yang dapat terjadi di dunia nyata maupun dunia maya. Kasus bullying yang sedang marak terjadi saat ini ialah body shaming baik itu terjadi secara langsung maupun melalui media sosial yang sering kita jumpai. Secara sederhana, fenomena body shaming merupakan tindakan yang mencerminkan kondisi fisik, penampilan, ataupun citra diri seseorang. Body shaming dapat menjadi alat untuk menghina dan dapat berkembang menjadi cyberbullying seiring bertambahnya waktu. Secara keseluruhan, body shaming adalah bentuk agresi sosial yang berdampak negatif pada individu.
Berdasarkan kajian dalam ilmu psikologi, korban body shame akan memiliki perasaan malu terhadap salah satu bentuk bagian tubuhnya ketika penilaian orang lain dan penilaian diri sendiri tidak sesuai dengan diri ideal yang diharapkan individu tersebut. Selain itu, gejala psikologis yang dialami korban menurut penelitian psikologis adalah depresi, kecemasan, gangguan makan, sosiopati subklinis, dan harga diri yang rendah. Dalam beberapa kasus efek dari body shaming banyak wanita yang mengalami depresi dan melakukan hal ekstrem untuk memperbaiki fisiknya. Selain berdampak psikologis, body shaming juga termasuk tindak pidana yang dapat dijerat dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008, Pasal 27 Ayat 3, sebagaimana telah diubah oleh UU No. 19 Tahun 2016
Banyak sekali hal yang melatarbelakangi pelaku body shaming melakukan perbuatan yang tidak menyenagkan tersebut seperti iri, merasa bahwa tubuhnya lebih sempurna, karena suka meniru orang lain atau bahkan alasan pelaku adalah karena pelaku pernah mengalami body shaming di masa lalunya. Oleh karena itu ia merasa perbuatan tersebut adalah hal yang biasa dan bisa dijadikan candaan untuk orang lain. Alasan lain yang bisa menjadi alasan pelaku adalah karena lingkungan sosialnya mendukung dan menganggap tindakan tersebut tidak merugikan hati orang lain.
Penelitian Gani dan Jalal (2021) pada penelitian persepsi remaja tentang body shaming menunjukkan bahwa sebanyak 17,9% remaja merasa bahwa dirinya seringkali mendapatkan perlakuan body shaming dari orang lain dan 75% menyatakan kadang-kadang mendapat perlakuan body shaming . Lingkungan pertemanan dianggap paling banyak melakukan perlakuan body shaming yakni sebesar 67,5%. Perlakuan body shaming yang dialami remaja paling banyak terkait hal berat badan atau gendut sebesar 57,1%. Pengalaman tersebut menyebabkan 42,9% remaja membentuk pemikiran untuk melawan, namun masih banyak 57,1% memilih diam. Pemikiran tersebut menyebabkan munculnya 64,3 persen remaja memilih diam dan menutup diri, 39,3 persen menjadi tidak percaya diri, 21,4 persen menarik diri dari lingkungan. Penelitian ini menjelaskan bagaimana body shaming sering terjadi di lingkungan remaja, bahkan dapat memberikan dampak buruk terhadap kepribadian dan kehidupan sosial remaja.
Dolezal (2015) membagi body shaming ke dalam dua jenis seperti:
Pertama, Acute Body Shame yang menjelaskan terkait aspek perilaku tubuh, contohnya adalah perilaku laku ataupun perubahan seseorang. Rasa malu terhadap tubuh ini sering dialami dalam interaksi sosial yang hal itu dapat menyebabkan seseorang menjadi gagal dalam menyatakan dirinya. Rasa malu pada tubuh yang akut tergolong sebagai rasa malu yang wajar di masyarakat. Rasa malu tubuh akut berkaitan dengan aspek perilaku tubuh, seperti gerakan, gaya berbicara, tingkah laku, dan kenyamanan yang berhubungan dengan penampilan diri.
Kedua adalah rasa malu kronik yang berkaitan dengan tubuh seseorang yang lebih lestari atau permanen, seperti berat badan, tinggi badan, atau warna kulit. Rasa malu yang kronis juga dapat timbul karena beberapa stigma atau kelainan tubuh, seperti jerawat, penuaan, dan lain sebagainya. Apa pun yang menyebabkan jenis body shaming ini datang secara kronis dan berulang-ulang ke dalam kesadaran seseorang dan membawa rasa sakit yang berulang atau mungkin terus-menerus. Rasa malu dalam hal ini mungkin akan menjadi lebih akut pada saat seseorang menginternalisasi penilaian diri, menyebabkan pengalaman tubuh sehingga mempengaruhi harga diri dan penilaian diri.
Menurut Help Guide, cara mengatasi body shaming adalah dengan mengubahnya menjadi body positivity atau sikap menerima dan mencintai diri sendiri, khususnya berkaitan dengan kondisi fisik yang dimiliki, seperti:
1. Membangun perasaan mencintai diri sendiri
2. Mengubah kata-kata negatif terhadap diri sendiri atau negative self-talk menjadi lebih positif.
3. Membatasi waktu untuk menggunakan media sosial karena bisa meningkatkan perasaan cemas, kesepian, hingga ketidakpuasan terhadap diri sendiri
4. Membangun kebiasaan makan yang baik atau mindful feeding.
5. Mencari bantuan dari orang-orang yang dipercaya, termasuk dari tenaga kesehatan profesional, untuk mendapatkan dukungan serta meluapkan profesional, untuk mendapatkan dukungan serta meluapkan perasaan.